Cerpen Islam di Bukit Tursina

Sore itu, seperti biasa kelompokku mendapat giliran piket memasak di dapur umum. Porsi yang kami masak lumayan cukup banyak karena diperuntukkan juga bagi santri putra. Ah, but no problem, toh kelompok masakku rata-rata kakak senior yang boleh dikatakan sudah ahli dalam hal masak-memasak. Ngegosip alias ngerumpi adalah kebiasaan kami di saat-saat menunggu matangnya nasi yang dimasak di atas api dari tungku kayu bakar…

“Dek!"
Tiba-tiba salah seorang kakak kelasku bertanya penasaran sambil memandang wajahku.
“Ia, Kak !” Sahutku cetus.
“Dek, kamu kan anak  lama di sini pasti kamu tau kan tempat ketemuan paling bagus dan aman, di mana ya?”

Aku pun terdiam sejenak sedikit heran.
“Hmm, memangnya kenapa kak?” Tanyaku penasaran.
“Kakak mau ketemu temen kakak, ayolah dek temenin kakak. Ajak kak Icha dengan penuh harap."

Dengan polosnya, spontan aku langsung menunjuk ke arah bukit yang tidak begitu jauh dari belakang asrama kami, tempat tinggal sementara ini.
“Nah, kalo gitu malam ini temenin kakak ketemuan sama kak Faiz ya, Dek?” Ajak kak Icha.

Aku tahu Kak Icha memang sudah lama pacaran dengan seorang santri putra yang bernama Faiz itu, karena aku memang cukup dekat dengan kak Icha, ia juga selalu berbagi cerita denganku, termasuk urusan cinta. Biasa, tradisi di pondok ceritanya kakak adik-an…
“Okelah kak! Gampang itu.” Jawabku semangat sambil tersenyum.

Aku memang senang kalo yang namanya diajak ke luar malam, bisa jalan-jalan apalagi mendengar kata –kata ketemuan Asyik! Bisa sambil ngintip orang pacaran deh.

Jam menunjukkan pukul 09.00 malam, kak Icha dan kakak yang lainnya sedang sibuk menyusun cara atau strategi kabur sebaik mungkin agar tidak ketahuan oleh pengasuh.

***

Di belakang asrama…
Aku dan kak Icha telah bersiap-siap untuk kabur dan aku begitu antusias melakukan pelanggaran yang satu ini, karena aku memang pemeran penting  dalam adegan ini (penunjuk jalan).
“Ok, Fie gimana? Kamu tau kan jalannya." Kak Icha meyakinkan.
“Oke kak, lanjut…!" Jawabku lebih yakin.

Sambil menoleh kanan kiri, kami pun mulai menuruni tebing satu persatu satu yang cukup terjal. Aku berada di belakang kak Icha.
Sebenarnya aku ragu, ada perasaan bingung antara ia dan tidak.
Tidak tahu kenapa tiba-tiba batin kecilku berkata, seperti ada yang membisikiku. "Fie kamu tidak boleh ikut, kamu tidak boleh ikut."

Pemandangan malam ini memang cukup indah di bawah kelipan bintang nan indah dan bercahaya di situ pulalah setan beraksi. Setidaknya, ada tiga pasang insan yang sedang asyik bernostalgia dengan kekasihnya masing-masing. Tetapi tidak dengan aku. Aku hanya menjadi 'kambing congek' alias obat nyamuk di tengah-tengah keasyikan mereka, karena statusku sebagai penunjuk jalan. Ah kasihan sekali…!

***

Seminggu kemudian..
Sore hari ba’da sholat Ashar di  mushollah putri..
“Setelah ini tidak ada yang boleh bubar dulu! Karena mau diadakan razia." Perintah ustazah Ziah dengan wajah serius dan seperti ada sesuatu yang tersimpan di balik wajahnya. Dan kami pun diminta untuk tetap berada di mushola sambil menunggu selesainya razia mendadak itu.

Semua santri teriak histeris dan kaget.
Kecuali aku yang hanya terdiam kaku, bercampur perasaan tegang dan deg-deg juga sih.
Beberapa menit kemudian akhirnya razia itu selesai.
Suasana kembali hening saat ustazah Ziah kembali.
Lalu,
“Icha.., Maju kedepan!” Perintah Ustazah Ziah dengan suara lantang.
“Apa ini Icha?” Tanya ustazah Ziah dengan nada tinggi, sambil menyodorkan sebuah foto mesra yang berukuran dompet itu.
“I..i..itu…” Icha tercekak.. hanya bisa diam tertunduk tanpa menjawab apa-apa.

***

Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga, itulah peribahasa yang cocok untukku saat ini. Berawal dari sebuah foto kakak kelasku, semua rahasia dari A-Z malam itu terungkap. Karena masalahnya dianggap terlalu besar, akhirnya para ustazah menyerahkan urusan ini ke ustadz-ustadz yang lebih berwenang. Malam itu juga, kak Icha dan kak Faiz dipanggil oleh ustadz Rohid untuk di-interview mengenai foto yang tertangkap sore tadi.

***

Tokk…! tokk…! tokk….!
Durr..! durr..! durr…!
Suara gedoran keras itu membuatku kaget dan spontan aku terbangun dari tidurku, sekali lagi kulirik jam tanganku ternyata menunjukkan pukul 12.30 dini hari.
“Masya Allah ada apa ini ? Tengah malam begini dibangunin?” Batinku.

Lagi-lagi terdengar suara yang lebih keras. Suara itu berasal dari luar.
“Durr… durrr…..! durr…!”
“Santri putri semuanya keluar kamar …!”
“Ayo cepat keluar sekarang juga!” Suara itu terdengar keras memekakan telinga.

Aku cukup mengenal suara itu.
“Ia bener sekali itu suara ustad Rohid.” Gumamku. Ustad satu ini terkenal tegas dan tanpa kompromi kepada santrinya yang berbuat masalah.

“Dalam hitungan kelima semuanya sudah berada di luar!” Lagi-lagi suara itu terdengar.
Sudah..! Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menyambar rok dan jilbabku yang memang sudah kusediakan di sampingku. Semua santripun terbangun dan panik sambil bersiap-siap untuk ke luar.

“Kak.. kak Icha..!” Panggilku panik sambil menghampiri kak Laila yang sepertinya beliau juga sedang mencariku di tengah-tengah kepanikan malam itu.
“Kak gimana nih kalo kita ditanya? Harus jawab apa coba!" Tanyaku dengan raut wajah panik  bercampur takut.
“Udahlah Fie, kita jujur saja! Jawab aja apa adanya, toh juga sudah pada ketahuan kok!" Jawab kak Icha dengan raut  pasrah, sambil melangkah ke luar kamar karena dari tadi suara Ustad Rohid terus memanggil.

“Plak…! pluk..! plak…! pluk!”
“Akh..akhh….akhh…”! Terdengar suara desahan dan kesakitan dari seberang sana (asrama putra).
“Astagfirullah…! Apa itu..”!
Ternyata, itu adalah hukuman yang diterima santri putra yang kabur ke bukit waktu malam itu, termasuk kak Faiz dan teman-temannya. Sungguh tak pernah terbayangkan malam ini ada pencambukan massal kepada santri yang melanggar. Mengerikan, kasihan, tapi apa boleh buat ini semua resiko yang harus kita terima dan dipertanggung jawabkan di hadapan manusia atas segala apa yang telah kita perbuat. Dan ini masih belum ada apa-apanya dibanding hukuman Allah yang kelak diterima di akhirat.

“Yang merasa namanya ustadz sebutkan silahkan maju dan berbaris di depan!” Perintah ustadz Rohid yang berdiri dengan wajah tampak kecewa bercampur marah. Tersebutlah namaku yang kabur waktu malam itu, bersama kak Icha.

“Apakah kalian mau di cambuk seperti itu!” Ancam Ustad Rahid sambil menunjuk kearah pencambukan massal yang sementara terjadi di seberang sana.
“Tidak Ustadz jawab kami serentak!” Sambil menunduk ketakutan. Ustadz Rohid terus menceramahi kami. Sementara suara cambukan di seberang sana masih tetap terdengar disertai dengan rintihan kesakitan, yang suaranya membuat semua santri putri ketakutan.

Dan akhirnya kami pun diintrogasi satu persatu. Setelah diintrogasi, semua santri dipersilakan untuk meninggalkan lapangan, kecuali kami yang bermasalah harus menjalankan hukuman.

***

Sore itu, aku duduk termenung di belakang asrama, tempat yang biasa aku gunakan menikmati matahari sore bersama teman-teman. Ingatanku melambung mengenang dosa, tatapanku terpaku pada bukit di mana aku telah melakukan hal terburuk dalam hidupku. Masih terbayang jelas amarah Ustad Rohid malam itu, akibat ulah kami yang kabur demi perbuatan hina di "Bukit Tursina".

Berbagai hukuman telah aku jalani, mulai dari berdiri berjam-jam di tengah malam, dijemur di depan gerbang asrama sembari membawa papan nama bagi santri yang melanggar, direndam di dalam kolam, dihukum piket memasak selama sebulan.

Alhamdulillah, semuanya telah selesai. Hatiku lega. Satu azamku, kejaadian ini tidak akan terulang lagi sampai kapanpun. Cukup pelajaran berharga ini yang pertama dan terakhir dalam hidupku.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku....
By:
Contoh Cerpen Islam