Syukurnya, masih ada ibu yang juga sangat aku sayangi, dan beliaulah penyemangat inti dalam hidupku untuk terus bersekolah. Ibu berpesan, “Pokoknya kamu harus sekolah, walau gimanapun kamu akan ibu perjuangkan selesai SMA hingga bangku kuliah. Kamu tidak usah dengarkan semua kata-kata Ayah yang menghalangimu untuk sekolah lagi. Karena ibu mau di antara anak-anakku, setidaknya ada yang berhasil dan memiliki pendidikan tinggi. Jangan seperti ibu yang tidak memiliki ijazah pendidikan."
Boarding School yang Berhijab
Suatu ketika terdengar kabar bahwa ada sekolah yang mencari murid dan menerima peserta didik baru dengan jaminan beasiswa. Tidak dipungut biaya sama sekali mulai dari pendaftaran hingga lulus sekolah, kecuali biaya yang berkaitan dengan diri pribadi. Yang memberatkanku, ternyata sekolah tersebut adalah sekolah pondok pesantren berasrama (boarding school), bukan sekolah SMA pada umumnya.Pertimbanganku kedua adalah jaraknya yang cukup jauh sekitar satu hari - satu malam perjalanan dari rumahku ke pondok pesantren tersebut. Aku ragu. Mungkinkah diriku sanggup hidup berasrama dan terpisah dari orang-orang yang selama ini aku cintai. Belum lagi aku masih terlalu ingusan tanpa pengalaman merantau karena baru saja menyelesaikan studi di SMP.
Dalam situasi itulah lagi-lagi ibu hadir dan membangunkan impianku. Dengan nada yang lembut penuh kasih sayang, ibu mencoba membakar motivasi dalam diriku. “Cobalah kamu pertimbangkan dengan matang, peluang jarang berulang! Kalau kamu sanggup mengapa tidak dijalani saja, toh sekolah pondok itu demi dunia dan akhirat. Kalau kamu tidak mau juga nggak papa kox, ibu tidak maksa.”
Kalimat ibu aku renungkan dan pertimbangkan semua, tak ingin aku memupuskan harapan ibu yang mulia. Apabila aku melanjutkan sekolah di kampung, kedua orang tuaku pasti tidak mampu untuk membiayai semua kebutuhan sekolah baik itu biaya SPP perbulan, seragam, buku dan perlengkapan apalgi uang jajan. Tibalah pada sebuah tekad membara di dalam dadaku. Aku Memilih Sekolah Berhijab. "Ma..., aku sudah memutuskan bahwa lebih baik sekolah di pondok saja, lagian sangat besar niatku untuk menutup aurat (berjilbab)”. Kataku ketika meminta restu ibu.
Pada malam keberangkatan menuju pondok pesantren Hidayatullah Banda Aceh. Aku berpamitan dan mencium telapak tangan kedua orang tuaku. Tak terasa hati inipun terasa perih, karena aku telah berani berpisah dengan orang-orana yang aku sayangi. Herannya, aku tidak menitikkan air mata setetes pun di hadapan ayah dan ibu.
Kini, aku telah hidup sebagaimana pilihanku, menjadi wanita berjilbab. Memang aku tidak menangis saat perpisahan itu, tetapi jujur setelah di asrama pondok, deru tangis tak mampu kuredam lagi. Jalan ini terlalu indah meski pedih untuk dimulakan apalagi oleh seorang gadis kecil kampung sepertiku.
by syityimybg@gmail.com