Jakarta, Tak Seindah Hidayah-Mu

Waktu itu, empat tahun yang lalu. Hidupku bebas bagaikan burung terbang di angkasa, melayang kesana-kemari tanpa arah dan tujuan. Hari-hari, kulalui dengan langkah terbata-bata namun penuh keyakinan. Inilah resiko seorang remaja kecil yang terlepas dan menjauh dari pantauan orang tua, hingga diriku terjerumus dan larut dalam gemerlapnya Metropolitan.
Sebelumnya baca juga Cerpen Islami Memilih Sekolah Berhijab.

Jakarta

Jakarta sungguh menggiurkan, membisikan janji-janji manis di setiap langkahku, menawarkan keindahan dalam angan dan khayalku. Aku sadar, orang tuaku sangat tidak setuju dengan pilihanku untuk merantau ke kota, meninggalkan desaku yang damai. Namun inilah aku, dengan seribu dalih dan sejuta alasan, aku memaksa pergi mencari pengalaman hidup sekaligus mengadu nasib di tanah orang.

Jakarta memang benar-benar membuatku tak berdaya, aku dibuat tak kenal lagi dengan agamaku, hingga melupakan tuhanku. Kehidupanku sekian lama hanya demi uang, jabatan dan popularitas. Malam-malam aku kelayapan menghamburkan uang di klub-klub hiburan, mabuk sampai pagi, bahkan tak jarang tertidur lupa waktu.

Hidayah Allah

Hingga suatu ketika, saat aku terbuai di sebuah pesta yang diselenggarakan oleh salah satu klub ternama di Ibu Kota. Saat diriku masyuk dengan iringan musik dugem yang memecahkan gendang telinga. Kami semua di sana tertawa terbahak-bahak, bergoyang bersama dan tiada lagi pembeda yang mana laki-laki yang mana perempuan. Semua campur aduk.

Tiba-tiba, aku terjatuh dan terduduk tak sadarkan diri. Tiga hari lamanya aku pingsan disebabkan over dosis. Setelah aku sadarkan diri, tak ada yang bisa aku ucapkan, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya menitikan air mata penyesalan yang tiada tara, terselip sepercik cahaya hidayah Allah menyeruak dari dalam hati sanubariku, “Ya Allah, maafkan aku! Aku ingin bertobat”.

Waktu kini kujalani dengan langkah lunglai, menyesal akan dosa-dosa yang telah kuperbuat. Terkadang aku menangis sendiri meratapi, menyesali apa yang telah terjadi dalam hidup durjana ini. Aku malu dengan diriku sendiri, aku malu telah durhaka pada kedua orang tuaku. Entah berapa kali pesan mereka yang kuabaikan.

"Nak, ingatlah. Apa pun yg terjadi jangan tinggalkan shalat. Karena shalat itu mampu mencegah perbuatan mungkar.”
"Nak, hidup ini cuma sekali. Kebahagian hakiki itu bukan di dunia ini, dunia ini hanya sementara. Setelah hidup ini ada namanya mati, dan kita harus memiliki bekal untuk mati.”

Sekonyong-konyong, aku terbayang akan wajah sayu bapak dan wajah cantik almarhumah ibuku tercinta. Semua telah terjadi. Ibu telah pergi untuk selamanya, ayah entah bagaimana kabarnya. Sungguh aku benar-benar menyesal, “Ya Allah... Aku tau, aku tak layak lagi meminta kepada-MU. Namun aku mohon ampunilah segala dosa- dosa ku, maafkanlah aku... Aku menyesal dengan semua ini.”

Tanpa sadar, sejak malam itu, aku mulai menunaikan shalat lagi setelah kurang lebih tiga tahun hidup di kota Metropolitan. Hatiku mulai tenang dan semangatku untuk bertaubat semakin terang bercahaya bak bulan purnama. Kondisi tersebut semakin diperkuat dengan nasehat abangku yang turut memotivasi dengan mengirim ayat Alquran surat An-Nisa' ayat 17 dan 18, yang artinya:
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.”
by : https://plus.google.com/+PramaSetiaPutra89