iqrozen.blogspot.com | Berlebihan rasanya bila sekilas membaca
judul tulisan ini, namun itulah pertanyaan yang sempat terbesit ketika membaca
headline news harian Batam Pos pada Jumat, 18 Januari 2013. Sebuah
pertanyaan yang mestinya terlontar dari setiap orang yang merasa heran pada
kota metropolitan sekelas Jakarta yang belum mampu terbebas dari ancaman banjir.
Pertanyaan yang akan mengkonfirmasi pemahaman kita bahwa setiap bencana dan
musibah selalu ada penyebabnya.
Sebagaimana diberitakan, banjir yang
melanda Jakarta baru-baru ini menjadikan sebagian besar wilayah Ibu Kota Negara
bagaikan kolam raksasa. Genangan air tampak di mana-mana dan merendam
wilayah-wilayah padat penduduk. Banjir yang datang setelah beberapa hari
Jakarta diguyur hujan telah mengakibatkan lebih dari 15 ribu orang mengungsi.
Bahkan, luapan air yang menggenangi Ibu Kota Negara di awal tahun ini, telah merenggut
15 korban jiwa. (http://www.bnpb.go.id/news/read/1205/korban-meninggal-banjir-jakarta-bertambah-menjadi-15-orang, 19/1/2013).
Banjir tidak hanya melanda tempat-tempat
hunian rakyat, luapan sungai Ciliwung kali ini juga menerjang beberapa titik di
komplek Istana Negara, kantornya SBY. Debit air yang kurang lebih setinggi betis
orang dewasa merendam kawasan Wisma Negara. Bahkan, akibat genangan air di
sebagian besar ruas jalan utama yang ada di Jakarta, menyebabkan agenda
pertemuan bilateral antara SBY (presiden RI) dan Y.M Cristina Elisabet
Fernandes De Kirchner (presiden Argentina) menjadi tertunda lebih dari satu jam. Tidakkah kita malu menyambut tamu negara dengan genangan air
di mana-mana?
Selain itu, banjir yang melanda hampir
seluruh wilayah Jakarta melumpuhkan pelayanan transportasi baik darat, udara
maupun laut. Sejumlah pilot terlambat datang karena jalanan macet, begitu juga
banyak calon penumpang yang tertinggal karena datang melebihi jadwal
keberangkatan. Pelabuhan tidak beroperasi maksimal karena banyak kontainer yang
terjebak macet dalam perjalanannya. Sementara PT. KAI tidak dapat
mengoperasikan armadanya hingga menembus jantung Ibu Kota Negara, disebabkan banyaknya
bantaran rel kereta yang tergenang air.
Demikianlah kiranya sinopsis singkat
terkait berita yang banyak dimuat media masa beberapa
hari terakhir
ini dalam meng-update keadaan Ibu Kota Negara kita. Sungguh buram wajah
Ibu Kota Negara saat banjir menyelimuti wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Kelap-kelip lampu tiba-tiba padam, bisingnya knalpot kendaraan seakan-akan
membisu, hiruk-pikuk manusia yang lalu-lalang sejenak berhenti. Tidakkah
fenomena tersebut menundukkan hati kita untuk merenungi apa sebenarnya yang
sedang melanda Ibu Kota Negara ini?
Ironinya, Jakarta adalah Ibu Kota Negara
yang dihuni Presiden dan para menterinya. Jakarta juga tempat tinggalnya para
wakil rakyat yang begitu cerdas dan tangkas saat berkampanye, dan tempat
menginapnya pejabat-pejabat “blusukan” yang katanya peduli rakyat. Di sana juga
hidup para selebritis yang kebanyakan hidup kaya raya menikmati gemerlap dunia.
Lalu, mengapa rakyat Jakarta selalu dihantui bayang-bayang kebanjiran bila
musim penghujan datang?
Secara logika, kita semua yakin bahwa
Jakarta dihuni orang-orang hebat dari generasi bangsa. Orang-orang yang
memiliki kekuasaan dalam membuat kebijakan negara dan menguasai perputaran uang
negara. Mereka juga manusia pilihan karena memiliki intelektual kelas
internasional. Ditambah lagi, sarana dan prasarana modern yang telah memadai
sebagai pendukung kehidupannya. Apa sebenarnya yang dipikirkan dan dikerjakan
para penghuni Senayan selama ini?
Akar Masalah Banjir di Jakarta
Dilihat keadaan topografinya, wilayah
Jakarta dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah hanya
berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol
Tanjung Priok. Posisinya yang rendah dibandingkan wilayah sekitarnya merupakan
salah satu faktor penyebab banjir sering
mengunjungi Ibu
Kota Negara kita. Belum lagi pembangunan tanpa kendali di wilayah hilir,
penyimpangan peruntukan lahan kota, dan penurunan tanah akibat eksploitasi
air oleh industrialisasi. Jika demikian, kemanakah air hujan
akan dibawa?
Turunnya kapasitas penyaluran air sistem
sungai akibat tata ruang kota Jakarta yang sering berubah-ubah dan minimnya daerah
resapan air, berdampak pada menggenangnya air hujan yang datang dari dataran
tinggi seperti Bogor dan sekitarnya. Apalagi, beberapa wilayah yang
diperuntukkan untuk pemukiman, banyak yang beralih fungsi menjadi tempat
komersial, maka jangan salahkan rakyat yang tinggal di tepian sungai dan
menyumbat aliran sungai. Apalagi jumlah penduduk
Jakarta senantiasa bertambah setiap tahunnya.
Parahnya, jutaan rakyat yang menghuni
Jakarta belum mampu berinteraksi dengan lingkungan secara
arif. Tumpukkan sampah di sepanjang aliran sungai, membuktikan rendahnya kesadaran
menjaga kebersihan sungai. Bangunan kumuh di tepian sungai turut menghambat
aliran air hujan yang semestinya melewati sungai tersebut. Wajar jika kemudian
sungai meluapkan isinya dan menggenangi wilayah sekitarnya.
Sementara itu, pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat yang berdiri di atas tanah
Jakarta, terbilang lambat dalam menangani problem banjir yang rutin
melanda Ibu Kota. Banyaknya jumlah pejabat eselon negeri ini yang tinggal di
Jakarta, tidak mempercepat eksekusi kebijakan yang berkaitan penanggulangan
banjir di sana. Sebaliknya, mereka tarik-ulur pendapat dan selalu berkutat
membicarakan besaran anggaran yang didapatnya jika proyek penanggulangan
dilaksanakan.
Renungan Bersama
Maraknya bencana dan musibah silih
berganti melanda hampir seluruh tempat di atas bumi ini merupakan fenomena alam. Mulai dari gempa bumi, gunung meletus,
hujan badai, gelombang pasang, petir bersahutan, angin puting beliung, banjir
bandang, tanah longsor dan gejala alam lainnya yang datang tanpa permisi untuk
merenggut korban baik harta maupun nyawa. Tidak hanya Jakarta, sejumlah
negara-negara maju yang telah memiliki teknologi canggih pun tak luput di
hantam bencana.
Perubahan iklim yang ekstrim dan tidak
menentu belakangan ini, kian menguji kecanggihan teknologi manusia dalam
menaklukkan alam raya dengan dinamikanya. Perkembangan teknologi yang begitu
pesat merupakan bukti kedigdayaan manusia bila dibanding makhluk lainnya di
dunia fana ini. Permasalahannya, banyak manusia yang lupa dan tidak berterima
kasih pada alam dan pencipta-Nya. Mungkinkah alam saat ini sedang marah kepada makhluk yang menghuninya?
Dari berbagai rangkaian bencana dan
musibah yang menyambangi bumi ini khususnya tanah air Indonesia, merupakan
bukti bahwa Sang Pencipta sedang mengingatkan makhluk ciptaan-Nya yang mungkin
telah berbuat “kelewat” batas. Ujian dan bencana yang menimpa manusia adalah
konsekuensi dari perbuatan maksiat dan dosa manusia itu sendiri. Pertanyaannya,
mengapa harus manusia yang disalahkan?
Coba renungkan, berapa banyak kerusakan akibat ulah manusia?
Kasus perkosaan yang telah “menelan” nyawa baik anak-anak ataupun orang dewasa,
kasus korupsi yang mengakibatkan rakyat menjadi miskin dan kelaparan, tragedi
makelar kasus yang menjadikan hukum semakin liar “membabi buta” tanpa keadilan,
pertikaian berkepanjangan yang menyebabkan perang saudara antar warga sendiri. Dan
tentu masih banyak lagi kerusakan oleh perilaku manusia terutama mereka yang
memiliki kekuasaan.
Logika sederhana, Manusia yang diberi
akal pikiran mampu menciptakan hal-hal luar biasa untuk menguasai bumi ini.
Nah, jika kita menciptakan suatu benda dan benda tersebut tidak memberi
manfaat, bahkan membuat kerusakan yang merugikan kita dan orang lain, sangat
wajar jika kemudian kita musnahkan saja benda itu. Atau mungkin merenovasinya
demi membuatnya bermanfaat dan lebih baik lagi. Demikian halnya manusia di muka
bumi ini, jika keberadaannya tidak menjadikan kebaikan menjaga lingkungan, sepatutnya bencana alam menjadi balasan yang setimpal.
Sudah saatnya setiap kita menyadari perannya masing-masing
dalam menjalani kehidupan ini. Keberadaan kita janganlah menjadikan
kesengsaraan bagi makhluk Tuhan yang lain. Terutama saudara-saudara yang hidup
dan beraktifitas di seputar Senayan, jagalah selalu interaksi baik antar manusia
maupun dengan interaksi lingkungan dengan bijak demi mewujudkan kehidupan yang
harmonis. Jabatan dan kekuasaan yang kalian miliki adalah fasilitas Tuhan untuk
mensejahterakan umat manusia beserta ekosistem kehidupannya.
Seharusnya, Presiden bersama para
menterinya mampu bekerjasama secara jujur dan
ikhlas menata pembangunan untuk membentengi rakyat dari
bencana. Para wakil rakyat menyusun RUU yang bijaksana demi
mengatur kehidupan warga negara. Sementara itu, para pejabat dan selebritis dengan “tumpukan”
hartanya menyantuni rakyat agar tidak hidup kumuh di bantaran sungai yang
mengakibatkan tersumbatnya aliran sungai. Demikian idealnya kehidupan manusia, terlebih warga Ibu Kota Negara sebagai
barometernya kemajuan bangsa.