Bekerja Membangun Ekonomi Keumatan

IQROZEN | Sebagai negara Islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang besar menjadi negara maju dan mandiri. Hal ini dapat terwujud apabila penduduknya memiliki etos kerja yang tinggi. Islam sangat menganjurkan penganutnya untuk memiliki semangat kerja disamping kewajibannya menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an, yang artinya, “apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS [62]: 10).

Orang yang dengan gigih bekerja keras, membanting tulang, mencari rezeki dari memeras keringat dan makan dari hasil itu, maka itu lebih baik dari makan hasil yang diperoleh dari harta warisan, atau memperoleh berdasarkan pemberian orang karena si pemberi merasa terdorong untuk memberi, terlebih jika shadaqah itu memang diminta-minta. Rasulullah bersabda, “Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.” (HR. Bukhari & Muslim).

Semua bentuk usaha yang dilakukan dengan membanting tulang dan pantang menyerah akan memompa semangat berkontraksi otot tubuh yang menyebabkan kesehatannya tetap terjaga dan semakin menambah kekuatannya. Secara fisik orang yang berlaku seperti ini akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sedang dalam jiwanya akan tumbuh rasa percaya diri dan sifat mandiri. Ia tidak tergantung dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang hidup berdasar dari belas kasih orang lain, selain bermental pasif, mereka juga memiliki jiwa lemah bahkan mematikan jiwa.

Untuk membangun kemandirian ekonomi rakyat, Islam memerintahkan kepada umatnya, selama hayat masih dikandung badan, bergerak dan berkarya adalah sangat dianjurkan. Rasulullah mengingatkan umat Muslim agar senantiasa berusaha dan berhati-hati terhadap waktu luang, karena pada momentum tersebut merupakan ladang subur bagi setan untuk menanamkan kemunkaran. Ditinjau dari konteks ini maka bekerja dan berakitivitas adalah jalan lain untuk membendung kejahatan, sedangkan pengangguran adalah pintu lahirnya perilaku kriminal. Dengan sangat tegas Nabi mengingatkan kepada kita bahwa, “Pengangguran (dapat) menyebabkan hati keras (keji dan membeku).”(HR. Asysyihaab).

Dalam Islam, pengangguran terdiri dari pengangguran aktif yaitu pengangguran yang didorong oleh kemalasan manusia itu sendiri. Dan, pengangguran pasif yakni pengangguran karena orang-orang yang hanya bersandar dari tunjangan-tunjangan, warisan, sehingga berpotensi membuat hati menjadi keras dan membeku. Bahkan, apapun atau bagaimanapun bentuk pekerjaan itu, bila tidak berangkat dari mencari keridhaan-Nya niscaya kegagalan senantiasa mengiringinya.

Seiring dengan perputaran matahari, seluruh umat Islam juga diperintahkan untuk menjalankan amanah-amanah kehidupan dengan bekerja dan bekerja. Rasulullah sangat menekankan kepada umat Muslim agar di pagi buta seusai shalat subuh (fajar) dilarang tidur lagi. Sebagaimana hadis beliau yang artinya, ”Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki.” (HR. Ath-Thabrani).

Dalam al-Qur’anul Karim, kata ‘aamanu’ (beriman) senantiasa diikuti dengan ‘wa aamilushsholihat’ yang artinya melakukan amal sholeh atau kerja, seperti yang termaktub dalam surat al-Ashr ayat ke-3, yang artinya, ”kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” Dalam hadis, Rasulullah juga bersabda, ”Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah SWT.” (HR. Ahmad).

Orang yang senantiasa bergerak atau kerja menandakan keimanan yang bersangkutan dalam kondisi aktif dan dinamis. Sebaliknya, mereka yang ‘menikmati’ bermalas-malasan alias gemar berpangku tangan, menandakan dirinya sedang dilanda impotensi iman. Asahlah iman, agar iman kita lebih dinamis dan produktif. Sempurnakan kecintaan kita kepada Allah dengan semangat yang kuat untuk menjemput fadhilahnya/rezkinya yang dihamparkannya begitu luas di penjuru bumi. Singsingkan lengan baju, setelah kita ber-takarrub kepada-Nya. Beginilah yang dimaksud iman yang potensial, iman yang aktif lagi produktif.

Menurut Ibnu Atsir, bekerja termasuk bagian dari perilaku para Nabi. Nabi Zakaria AS adalah tukang kayu, Nabi Daud AS membuat baju besi dan menjualnya sendiri. Bahkan sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, Nabi Daud itu tidak akan makan, kecuali makan dari hasil tangannya sendiri. Selain seorang Nabi, Daud AS telah diberi oleh Allah SWT kekuasaan dan harta yang melimpah. Walau begitu, beliau tidak merasa gengsi untuk bekerja dengan tangannya sendiri guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Beliau tidak mengajarkan berpangku tangan dan mengharap belas kasih dari orang lain, pada ummat yang dipimpinnya.



Bekerja dan Bekerja

Kesimpulannya, sebagai umat Islam yang memiliki sejarah emas di zaman dahulu karena etos kerja Nabi SAW dan para sahabatnya. Marilah kita tetap bekerja, bekerja dan bekerja. Apapun itu bentuk pekerjaannya, selagi dalam koridor syari’at alias tidak diharamkan-Nya, lakukanlah itu dengan kesungguhan. Pekerjaan yang sungguh-sungguh dapat mendorong kita lebih mandiri dan percaya diri dalam memenuhi kebutuhan umat. Bila hal itu kita lakukan, insya Allah semua itu akan membuat hidup kita menjadi lebih mulia dan terhormat. Bukankah begitu saudara

Bekerja Membangun Ekonomi Keumatan
Abu Zaini