Hukum Asal Maulid Nabi Muhammad SAW

IQROZEN | Hukum Memperingati Maulid Nabi SAW. Indonesia adalah salah satu negara yang begitu antusias memperingati Maulid Nabi SAW. Beragam kegiatan diselenggarakan demi menyemarakkan hari lahirnya nabi Muhammad SAW, baik secara formal maupun informal oleh institusi resmi maupun swasta. Semuanya bersama-sama mendendangkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Namun penting untuk dipahami terkait sejarah peringatan Maulid Nabi agar apa yang kita lakukan dapat dipahami hukumnya dan tidak sekedar taklik buta.

1. Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l549 M atau 630 H), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW dengan perayaan yang meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan Maulid Nabi atau juga disebut Milad Nabi.

2. Ibnu Taymiyah menjelaskan bahwa merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.

3. Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi) bahwa termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah SAW dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah kepada seluruh alam semesta."

4. Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan bahwa asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan bid'ah yang baik (bid'ah hasanah).

5. Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan, "Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah SAW pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan."

6. Imam Suyuti berkata, "Menurut saya asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia."

7. Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan, "Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah SAW di dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah."

8. Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan, "Mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat." Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadis dinyatakan, "Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Rasulullah SAW menjawab, "Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).

9. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.

Jika timbul pertanyaan, perayaan Maulid Nabi yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafatnya Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan  atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa.