IQROZEN | Aku terlahir dari keluarga yang kaya raya dan serba berkecukupan. Aku anak satu-satunya. Ayahku seorang pengusaha yang sukses, ibuku seorang pendesainer yang terkenal, sedangkan aku anak yang suka berfoya-foya. Pergaulanku tidak keruan, aku lebih suka berteman dengan anak laki-laki daripada anak perempuan. Menurutku anak perempuan itu cengeng banyak maunya pokoknya ribet banget. Kadang aku berfikir kenapa aku diciptakan menjadi perempuan, menjadi ciptaan-Nya yang palng ribet..hah pusing law harus dipikirkan semuanya.
Siang itu…..
“Ummika, hari ini kamu ada kegiatan, nggak?” Tanya Sandi padaku.
“Apa kegiatan, bentar aku ingat-ingat dulu ya!” Sandi sudah tau jawabnya, tanpa harus menunggu, Sandi langsung menarik tanganku.
“Eh, kita mau kemana emang..?” Tanyaku yang belum tau kemana hendak digiring Sandi dan teman-temannya.
“Biasa Ika, kita mau pergi ke puncak.” Jawab Agung
“Apa puncak? Ketempat siapa, Gung?” Tanyaku dengan wajah tercantik di antara segerombol remaja lelaki itu.
“Rahasia dong..’’ Jawab mereka kompak.
Oya, aku belum menjelaskan berapa anggota gengku. Aku wanita satu-satunya di antara lima orang laki-laki yang selalu menjadi temanku. Walaupun mereka kelihatannya berandalan tapi hati mereka begitu lembut, "Hei, ngelamun ya?…" Celetuk salah satu dari lima temanku itu.
"Aaisss..., kalian ini gak suka ya ngelihat aku bahagia?" Ujarku spontan.
Siang itu…..
“Ummika, hari ini kamu ada kegiatan, nggak?” Tanya Sandi padaku.
“Apa kegiatan, bentar aku ingat-ingat dulu ya!” Sandi sudah tau jawabnya, tanpa harus menunggu, Sandi langsung menarik tanganku.
“Eh, kita mau kemana emang..?” Tanyaku yang belum tau kemana hendak digiring Sandi dan teman-temannya.
“Biasa Ika, kita mau pergi ke puncak.” Jawab Agung
“Apa puncak? Ketempat siapa, Gung?” Tanyaku dengan wajah tercantik di antara segerombol remaja lelaki itu.
“Rahasia dong..’’ Jawab mereka kompak.
Oya, aku belum menjelaskan berapa anggota gengku. Aku wanita satu-satunya di antara lima orang laki-laki yang selalu menjadi temanku. Walaupun mereka kelihatannya berandalan tapi hati mereka begitu lembut, "Hei, ngelamun ya?…" Celetuk salah satu dari lima temanku itu.
"Aaisss..., kalian ini gak suka ya ngelihat aku bahagia?" Ujarku spontan.
Tanpa terasa matahari sebentar lagi akan kembali ke tempat peraduannya, hari-hari selalu kuhabiskan dengan sahabat-sahabat lelaki tersebut di Villa satu ke Villa lainnya. Itulah kehidupanku yang hanya mencari kesenangan tanpa harus memikirkan sebab dan akibatnya.
Aku tak pernah memikirkan yang namanya cinta apalagi merasakannya, termasuk cinta dari kedua orang tuaku. Setiap hari kehidupanku tidak pernah diperhatikan kedua orang tuaku, mereka hanya sibuk dengan bisnis mereka masing-masing. Memang, hidupku penuh dengan bergelimangan harta tapi tidak pernah merasakan kasih sayang dari mereka padahal aku anak satu-satunya.
Pagi itu…
"Ummika, kamu kenapa gak enak badan ya?"
"Hah, gak kok!"
"Aku tau, Ummika. Kamu lagi kesepian." Ujar Reni, teman sekelasku yang agak perhatian terhadapku.
"Jangan sok tau ya, emang kamu tau kehidupan aku? Emang kamu siapa hah? Jangan sok perhatian deh, urus hidup kamu sendiri!" Entah kenapa aku paling benci kalau ada orang yang membicarakan tentangku.
"Maafkan aku, Ummika. Bukan maksud untuk mencampuri tentangmu ini murni keinginan dalam hatiku."
"Aku gak butuh perhatian dari kamu, titik!" Ujarku lebih menegaskan.
"Dengarkan aku, Ummika!" Ujar Reni tidak kalah tegas. Sungguh, baru kali ini aku melihat Reni bicara tegas terhadapku.
"Jangan pernah merasa bahwa tidak ada yang menyayangimu. Ingatlah bahwa Allah selalu menyayangimu walau yang lain tidak memperhatikanmu. Allah sang pencipta kita tidak pernah lelah memperhatikanmu, Ummika." Ujarnya Reni sembari menatapku tajam. Dan, entah kenapa kali ini aku diam saja saat Reni memberi ceramah, yang biasanya selalu aku akan menyangkal apa saja yang disampaikannya.
"Jika ingin tenang hatimu, maka sholatlah. Ummika, hanya itu yang membuat hati kamu akan tenang. Yakinlah hanya itu penawar kegersangan hati!" Suara Reni sudah mulai melunak, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa mempedulikan Reni, aku berlari meninggalkan kelas.
Semenjak kejadian itu, hatiku begitu gelisah. Bimbang. Terngiang-ngiang ditelingaku ucapan Reni saat di dalam kelas. "Jika ingin tenang hatimu, maka sholatlah. Hanya itu, Ummika." Kalimat itu terus bermain di dalam pikiranku, hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata yang selama ini begitu susah dikeluarkan.
Sejurus kemudian, kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Aku buka lemari dan mengambil mukena. Agak canggung aku coba memakai mukena yang tidak pernah kusentuh kecuali hari lebaran. Sholat. Kuhadapkan wajah yang penuh dosa ini pada Allah, aku malu dengan Allah sungguh aka malu, kuingat semua perbuatanku yang tak keruan.
Kini semua telah berubah. Sejak itulah aku coba mempelajari keutamaan sholat dan memperdalam pemahamanku tentang indahnya tuntunan Islam. Sungguh, ketenangan itu telah kutemukan. Reni betul bahwa Allah tidak akan pernah melupakan hambaNya. Alhamdulillah, aku sudah mendapatkan ketenangan hidup ini.
Aku tak pernah memikirkan yang namanya cinta apalagi merasakannya, termasuk cinta dari kedua orang tuaku. Setiap hari kehidupanku tidak pernah diperhatikan kedua orang tuaku, mereka hanya sibuk dengan bisnis mereka masing-masing. Memang, hidupku penuh dengan bergelimangan harta tapi tidak pernah merasakan kasih sayang dari mereka padahal aku anak satu-satunya.
Pagi itu…
"Ummika, kamu kenapa gak enak badan ya?"
"Hah, gak kok!"
"Aku tau, Ummika. Kamu lagi kesepian." Ujar Reni, teman sekelasku yang agak perhatian terhadapku.
"Jangan sok tau ya, emang kamu tau kehidupan aku? Emang kamu siapa hah? Jangan sok perhatian deh, urus hidup kamu sendiri!" Entah kenapa aku paling benci kalau ada orang yang membicarakan tentangku.
"Maafkan aku, Ummika. Bukan maksud untuk mencampuri tentangmu ini murni keinginan dalam hatiku."
"Aku gak butuh perhatian dari kamu, titik!" Ujarku lebih menegaskan.
"Dengarkan aku, Ummika!" Ujar Reni tidak kalah tegas. Sungguh, baru kali ini aku melihat Reni bicara tegas terhadapku.
"Jangan pernah merasa bahwa tidak ada yang menyayangimu. Ingatlah bahwa Allah selalu menyayangimu walau yang lain tidak memperhatikanmu. Allah sang pencipta kita tidak pernah lelah memperhatikanmu, Ummika." Ujarnya Reni sembari menatapku tajam. Dan, entah kenapa kali ini aku diam saja saat Reni memberi ceramah, yang biasanya selalu aku akan menyangkal apa saja yang disampaikannya.
"Jika ingin tenang hatimu, maka sholatlah. Ummika, hanya itu yang membuat hati kamu akan tenang. Yakinlah hanya itu penawar kegersangan hati!" Suara Reni sudah mulai melunak, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa mempedulikan Reni, aku berlari meninggalkan kelas.
Semenjak kejadian itu, hatiku begitu gelisah. Bimbang. Terngiang-ngiang ditelingaku ucapan Reni saat di dalam kelas. "Jika ingin tenang hatimu, maka sholatlah. Hanya itu, Ummika." Kalimat itu terus bermain di dalam pikiranku, hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata yang selama ini begitu susah dikeluarkan.
Sejurus kemudian, kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Aku buka lemari dan mengambil mukena. Agak canggung aku coba memakai mukena yang tidak pernah kusentuh kecuali hari lebaran. Sholat. Kuhadapkan wajah yang penuh dosa ini pada Allah, aku malu dengan Allah sungguh aka malu, kuingat semua perbuatanku yang tak keruan.
Kini semua telah berubah. Sejak itulah aku coba mempelajari keutamaan sholat dan memperdalam pemahamanku tentang indahnya tuntunan Islam. Sungguh, ketenangan itu telah kutemukan. Reni betul bahwa Allah tidak akan pernah melupakan hambaNya. Alhamdulillah, aku sudah mendapatkan ketenangan hidup ini.