iqrozen.blogspot.com | Jadikan Ikhlas Sebagai Penawar Hati yang Teracuni. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna apabila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Lahir ke dunia dengan dibekali akal dan nafsu, manusia didaulat sebagai khalifah di muka bumi ini. Yang mana, kewajiban khalifah adalah mengayomi dan menjaga kelestarian populasi hayati di alam raya ini. Sayangnya, fenomena yang nampak kasat mata terkait perilaku manusia pada umumnya sangat bertentangan dengan hakikat penciptaan manusia itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan yang marak terjadi di muka bumi ini akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Banyak orang pandai namun tidak bijaksana menyikapi permasalahan, akibatnya terjadi pertikaian di mana-mana. Tidak sedikit jumlah tokoh atau pemuka agama, namun perilaku sekuler (mengesampingkan Tuhan) menjadi budaya di sana-sini. Pertanyaannya, di mana letak akar permasalahannya? Sepakat atau tidak sepakat, jawaban yang sesuai adalah urusan hati.
Penciptaan manusia tidak terlepas dari adanya hati di balik wujud seonggok tubuh yang terdiri dari daging, tulang dan otot yang kuat. Peran hati menjadi pengendali dan pengatur keseimbangan antara kerja akal dan gelora nafsu. Maka, penting bagi setiap manusia untuk menjaga hati, agar tidak terkontaminasi oleh racun-racun duniawi yang telah banyak menjerumuskan manusia ke lembah penderitaan. Cahaya hati mesti bersinar terang, karena manakala cahaya itu redup akan berimbas pada lemahnya kontrol iman dalam diri seorang hamba Tuhan.
Hati yang bersih melambangkan keadaan jiwa-jiwa yang tenang dalam mengarungi kehidupan fana ini. Sebaliknya, hati yang keruh dan galau akan menyandera jiwa sehingga sulit untuk menghambakan diri kepada Rabb-nya. Keadaan tersebut tercermin dalam diri manusia yang orientasi hidupnya semata-mata mengejar duniawi. Segala seuatu yang dikerjakannya sekedar memenuhi kebutuhan materi tanpa mengindahkan kebutuhan spiritualnya.
Apabila seseorang telah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan duniawi, hilanglah keikhlasan dari dalam hatinya. Karena mereka yang berorientasi materi selalu menghitung untung dan rugi pada setiap apa-apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, gemerlap dunia telah masuk memenuhi ruang hatinya. Jika demikian, maka hati sangat rentan terinfeksi penyakit yang menyebabkan dirinya tidak tenang dalam menjalani kehidupan ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan yang marak terjadi di muka bumi ini akibat ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Banyak orang pandai namun tidak bijaksana menyikapi permasalahan, akibatnya terjadi pertikaian di mana-mana. Tidak sedikit jumlah tokoh atau pemuka agama, namun perilaku sekuler (mengesampingkan Tuhan) menjadi budaya di sana-sini. Pertanyaannya, di mana letak akar permasalahannya? Sepakat atau tidak sepakat, jawaban yang sesuai adalah urusan hati.
Penciptaan manusia tidak terlepas dari adanya hati di balik wujud seonggok tubuh yang terdiri dari daging, tulang dan otot yang kuat. Peran hati menjadi pengendali dan pengatur keseimbangan antara kerja akal dan gelora nafsu. Maka, penting bagi setiap manusia untuk menjaga hati, agar tidak terkontaminasi oleh racun-racun duniawi yang telah banyak menjerumuskan manusia ke lembah penderitaan. Cahaya hati mesti bersinar terang, karena manakala cahaya itu redup akan berimbas pada lemahnya kontrol iman dalam diri seorang hamba Tuhan.
Hati yang bersih melambangkan keadaan jiwa-jiwa yang tenang dalam mengarungi kehidupan fana ini. Sebaliknya, hati yang keruh dan galau akan menyandera jiwa sehingga sulit untuk menghambakan diri kepada Rabb-nya. Keadaan tersebut tercermin dalam diri manusia yang orientasi hidupnya semata-mata mengejar duniawi. Segala seuatu yang dikerjakannya sekedar memenuhi kebutuhan materi tanpa mengindahkan kebutuhan spiritualnya.
Apabila seseorang telah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan duniawi, hilanglah keikhlasan dari dalam hatinya. Karena mereka yang berorientasi materi selalu menghitung untung dan rugi pada setiap apa-apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, gemerlap dunia telah masuk memenuhi ruang hatinya. Jika demikian, maka hati sangat rentan terinfeksi penyakit yang menyebabkan dirinya tidak tenang dalam menjalani kehidupan ini.
Sebuah kisah hikmah ketika Imam Sahl bin Abdullah ditanya, ”Apakah pekerjaan yang paling susah bagi jiwa?” Beliau menjawab, “Ikhlas. Sebab pada saat itu jiwa tidak mendapatkan apa-apa.” Inilah sepenggal dialog yang mesti kita renungkan bersama, apa sebenarnya ikhlas itu? Hingga begitu susah dilakukan meski oleh seseorang yang bergelar ulama. Apa saja keutamaan ikhlas? Sampai-sampai kita semua dituntut mengamalkannya.
Setiap manusia memiliki rutinitas yang beraneka-ragam dengan bermacam motivasinya juga. Hal ini yang kemudian menyebabkan banyak umat manusia menjadi makhluk yang lalai dari hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dimana, semua yang kita lakukan selama di bumi Allah ini seharusnya bernilai ibadah (QS [51]: 56).
Memang ada manusia yang mengharap ridha Allah ketika melakukan amal kebajikan, tetapi bersamaan itu juga kadang terselip niat-niat sampingan dalam hatinya. Dan, agar semua amal kebajikan yang kita lakukan tidak percuma, maka niat yang ikhlas mengambil peran yang sangat penting. Ikhlas adalah inti dari segala perbuatan yang telah akan sedang kita lakukan. Ikhlas akan memurnikan ketaatan kita kepada Allah demi mengharap keridhaan-Nya semata. Ikhlas merupakan pembersih hati dari serpihan-serpihan keduniawian yang senantiasa terselip dalam diri manusia.
Menurut Imam al-Munawi, ikhlas itu usaha seseorang untuk membersihkan hati dari segala hal yang mengotorinya. Sedangkan Imam al-Jurjani menyatakan bahwa ikhlas itu tidak mengharapkan adanya saksi selain Allah SWT. Selain itu, bila ditinjau berdasarkan asal-usul katanya, ikhlas berasal dari bahasa Arab, yaitu khalasha yang artinya bersih, murni dan sehat. (Ibnul Manshur dalam kamus Lisanul ‘Arab).
Dengan memahami uraian singkat terkait makna ikhlas tersebut, semestinya kita segera mengevaluasi niat apabila sesuatu yang kita lakukan masih dikarenakan selain mengharap ridha Allah. Imam Fudhail bin ‘Iyad menyatakan bahwa mengerjakan amal karena orang lain disebut riya’ dan meninggalkan amalan karena orang lain adalah syirik.
Islam merupakan agama yang lurus dan sangat menentang perilaku riya’ apalagi syirik. Praktek kesyirikan sangat bertolak-belakang dengan syariat Islam, karena tuntunan Islam begitu jelas mengajak seluruh umat manusia agar menyembah Allahu Ahad. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah: 5).
Dari penjelasan singkat tersebut, ada baiknya masing-masing kita menginstropeksi diri dan memeriksakan hati apakah terjangkiti penyakit yang mengerikan itu. Penyakit hati yang menyebabkan umat manusia berbondong-bondong terjerumus ke dalam neraka jahanam. Memang bukan pekerjaan mudah untuk membersihkan hati, namun dengan berupaya ikhlas dalam segala hal, niscaya kotoran-kotoran yang menyelubungi hati dapat perlahan terlepas. Sehingga manusia dapat kembali pada hakikat penciptaannya dan senatiasa berjalan di bawah naungan cahaya Illahi. Amiin yaa Robbal ‘alamin.
Setiap manusia memiliki rutinitas yang beraneka-ragam dengan bermacam motivasinya juga. Hal ini yang kemudian menyebabkan banyak umat manusia menjadi makhluk yang lalai dari hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dimana, semua yang kita lakukan selama di bumi Allah ini seharusnya bernilai ibadah (QS [51]: 56).
Memang ada manusia yang mengharap ridha Allah ketika melakukan amal kebajikan, tetapi bersamaan itu juga kadang terselip niat-niat sampingan dalam hatinya. Dan, agar semua amal kebajikan yang kita lakukan tidak percuma, maka niat yang ikhlas mengambil peran yang sangat penting. Ikhlas adalah inti dari segala perbuatan yang telah akan sedang kita lakukan. Ikhlas akan memurnikan ketaatan kita kepada Allah demi mengharap keridhaan-Nya semata. Ikhlas merupakan pembersih hati dari serpihan-serpihan keduniawian yang senantiasa terselip dalam diri manusia.
Menurut Imam al-Munawi, ikhlas itu usaha seseorang untuk membersihkan hati dari segala hal yang mengotorinya. Sedangkan Imam al-Jurjani menyatakan bahwa ikhlas itu tidak mengharapkan adanya saksi selain Allah SWT. Selain itu, bila ditinjau berdasarkan asal-usul katanya, ikhlas berasal dari bahasa Arab, yaitu khalasha yang artinya bersih, murni dan sehat. (Ibnul Manshur dalam kamus Lisanul ‘Arab).
Dengan memahami uraian singkat terkait makna ikhlas tersebut, semestinya kita segera mengevaluasi niat apabila sesuatu yang kita lakukan masih dikarenakan selain mengharap ridha Allah. Imam Fudhail bin ‘Iyad menyatakan bahwa mengerjakan amal karena orang lain disebut riya’ dan meninggalkan amalan karena orang lain adalah syirik.
Islam merupakan agama yang lurus dan sangat menentang perilaku riya’ apalagi syirik. Praktek kesyirikan sangat bertolak-belakang dengan syariat Islam, karena tuntunan Islam begitu jelas mengajak seluruh umat manusia agar menyembah Allahu Ahad. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah: 5).
Dari penjelasan singkat tersebut, ada baiknya masing-masing kita menginstropeksi diri dan memeriksakan hati apakah terjangkiti penyakit yang mengerikan itu. Penyakit hati yang menyebabkan umat manusia berbondong-bondong terjerumus ke dalam neraka jahanam. Memang bukan pekerjaan mudah untuk membersihkan hati, namun dengan berupaya ikhlas dalam segala hal, niscaya kotoran-kotoran yang menyelubungi hati dapat perlahan terlepas. Sehingga manusia dapat kembali pada hakikat penciptaannya dan senatiasa berjalan di bawah naungan cahaya Illahi. Amiin yaa Robbal ‘alamin.
Maka penting bagi siapa saja untuk segera membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang akan menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas, yang senantiasa memurnikan niatnya dalam setiap aktivitas sehingga bernilai ibadah. “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi hamba kesayangan-Nya.” (QS [4]: 125).