Revitalisasi Bhineka Tunggal Ika

iqrozen.blogspot.com | Sering kita mendengar statement dari para pemimpin negeri ini bahwa Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang seimbang di berbagai sektor. Mulai dari Presiden dan para Menterinya, DPR beserta jajarannya, Gubernur, Bupati hingga para pejabat pemerintahan dengan antusias menyampikan grafik perkembangan bangsa yang menurut mereka meningkat luar-biasa belakangan ini. Contohnya, kebanggaan Presiden tampak pada pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam penyampaian keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2013 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menjelang peringatan 67 tahun Indonesia merdeka.

Dalam pidatonya, Presiden menyatakan Indonesia patut bersyukur karena di tengah perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian, pertumbuhan ekonomi Bangsa Indonesia pada Triwulan I mencapai 6,3 persen, dan pada triwulan II bahkan sedikit meningkat mencapai 6,4 persen tahun ini. Dan perkiraan, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 dapat dipertahankan pada kisaran 6,3 persen hingga 6,5 persen. Sebagaimana daya beli masyarakat Indonesia, dengan kelompok kelas menengahnya yang semakin besar, terus meningkat, yang selanjutnya mendorong pertumbuhan konsumsi domestik. Sementara itu, investasi juga terus meningkat sejalan dengan naiknya peringkat utang Indonesia menjadi investment grade.

Dalam Semester I tahun 2012 ini juga, investasi tumbuh dua digit sebesar 11,2 persen. Sementara itu, laju inflasi hingga Juli 2012 (yoy) dapat kita kendalikan pada 4,56 persen, lebih rendah dari tingkat inflasi periode yang sama tahun 2011 (yoy) sebesar 4,61 persen. Dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah akan senantiasa menempatkan pengendalian inflasi tersebut sebagai prioritas dalam pengelolaan kebijakan ekonomi makro. Karena itu, koordinasi dan sinergi yang solid antara Pemerintah dengan Bank Indonesia yang selama ini telah berjalan baik di tingkat pusat dalam mengendalikan inflasi, akan terus dimantapkan dan bahkan sekarang diperluas hingga ke seluruh daerah. Harapannya, inflasi hingga akhir tahun 2012 dapat dijaga  tidak lebih dari 4,8 persen.

Berita yang mencengangkan datang dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) di beberapa tempat, dimana tahun 2012 ini terdapat surplus Pegawai Negeri Sipil (PNS) hingga ribuan orang. Sebut saja Pemprov Kaltim yang kelebihan 1.255 orang PNS, kemudian Pemprov Gorontalo kelebihan 562 orang PNS, Pemprov Sulut kelebihan 1.500 orang PNS dan Pemprov Sumsel kelebihan 1.536 orang PNS.

Artinya, pemerintah sukses mengurangi tingginya jumlah penggangguran dengan langkah memperkerjakan rakyat di beberapa instansi pemerintah. Namun pertanyaannya, bukankah ini sama halnya dengan menggaji pengangguran berpangkat? Bahkan isu yang masih hangat terkait rencana pemerintah untuk menaikkan gaji PNS sebagaimana disampaikan Presiden SBY dalam pidatonya soal APBN 2013 dan Nota Keuangannya di gedung DPR RI tentang rencana kenaikan gaji PNS, TNI/Polri, sebesar 7 persen di tahun 2013. Sungguh mengherankan, sudah lunaskah hutang luar negeri bangsa ini?

Inilah yang patut kita khawatirkan bersama, dimana Allah telah memberikan peringatan di dalam Al-Qur’an yang artinya “Ingat Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS.Al Maa’idah:78-79).


Pemicu Berkecamuknya Rakyat
Sekilas memang tampak keberhasilan telah diraih tim Eksekutif maupun tim Legislatif dari kabinet pemerintahan kali ini dalam menjalankan roda pemerintahan bangsa kita. Ironinya, keresahan dan kecamuk di tengah masyarakat kian meningkat. Kerusuhan dan teror dengan berbagai motif hampir terjadi di seluruh daerah. Mulai dari penembakan di Timika, kerusuhan Ambon, konflik di Sigi-Sulawesi Tengah, tragedy Sampang berdarah, penembakan misterius di Solo, maraknya tawuran pelajar hingga konflik Binjai yang berkepanjangan. Hal ini tentu menyimpang dari apa yang disebutkan dalam penutup pidato Presiden yang sama, yaitu kita dapat menjalankan roda pembangunan menuju bangsa dan negara yang lebih aman, tenteram, maju, adil, dan sejahtera, dapat terwujud dengan terus menjaga keseimbangan.

Contoh, konflik yang terjadi di Sampang-Madura dengan mengatasnamakan urusan Aqidah untuk berke-Tuhan-an, menjadikan negara ini tersohor sebagai negara yang mangacuhkan HAM dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu, perbedaan pendapat yang timbul baik dikalangan masyarakat, pejabat maupun ulama dan tokoh masyarakat semakin mengukuhkan suburnya perpecahan di tanah air kita ini. Ditambah lagi keragaman suku, budaya, keyakinan menjadikan masyarakat Indonesia begitu rentan bertikai. Inikah akar permasalahannya? Lagi-lagi kembali pada konsistensi stakeholder pemerintah kita dalam menjamin kemurnian beragama dan berke-Tuhan-an, tidak semata-mata memberi ijin berdirinya keyakinan baru apapun itu namanya, apalagi jika itu jelas-jelas melecehkan kemurnian suatu agama tertentu.

Lain cerita namun sama akar persoalannya dengan teror yang terjadi di Solo-Jawa Tengah. Penembakan kepada aparat kepolisian dan teror bom dengan sasaran aparat polisi mencerminkan spesifikasi dendam pada POLRI dan jajarannya. Motif teror yang diyakini sebagai upaya balas dendam oleh sekelompok orang karena merasa sepak-terjang satuan POLRI telah mendholimi anggota kelompoknya. Pertanyaannya, Sudahkah aparatur kepolisian negeri ini mendampingi penegakkan keadilan pada jalurnya? Jangan sampai sebagai pihak yang diamanahi menjaga keamanan rakyat justru menjadi pencuri dan pemalak hak-hak rakyat. Masih ingatkan rekening gendut pejabat POLRI? Atau kasus salah tangkap di beberapa tempat oleh anggota polisi? Dan yang terhangat kasus korupsi perangkat simulator SIM yang diduga pelakunya justru perwira-perwira negeri ini. Wajar jika rakyat kemudian berontak dan berbuat kriminal karena merasa dikibuli, sekali lagi peran stakeholder menjadi acuannya.

Belum lagi segudang problema di meja peradilan, kucing-kucingan antara hakim dan terdakwa kian merendahkan martabat hukum di negeri ini. Penyelesaian kasus TIPIKOR yang tak kunjung usai bahkan semakin menghadirkan tokoh-tokoh elit negeri ini. Diperparah lagi dengan vonis hukuman yang penuh konspirasi menjadi topik klasik yang muncul di berbagai media masa. Setujukah jika para penjahat sejenis koruptor didampingi advokat? Sepakatkah bila pembunuh sekelas Afriyani Susanti hanya di vonis 15 tahun penjara? Sementara dia terbukti pecandu alkohol yang ujungnya menyebabkan sembilan nyawa manusia melayang pada tragedy maut di Tugu Tani, Jakarta. Mungkin inikah yang dimaksud pertumbuhan bangsa yang seimbang? Meski di sana-sini banyak terjadi ketimpangan, baik itu ketimpangan di bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun penegakkan hukum.

Revitalisasi Bhineka Tunggal Ika
Sekarang ini dapat dikatakan keragaman Indonesia sedang menapaki masa pancaroba yang semakin menggesek timbulnya perpecahan, karena elemen bangsa tidak lagi mampu menemukan titik temu untuk duduk bersama menjaga NKRI. Suburnya pertikaian dalam kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini mengancam keutuhan NKRI, apalagi kita tahu jika keragaman rakyat Indonesia sangat mudah menjadi bahan provokasi untuk menimbulkan kericuhan. Slogan Bhineka Tunggal Ika yang dulu begitu dijunjung kini seakan-akan tiada terdengar lagi gaungnya. Sangat mungkin jika dalam waktu dekat kita akan diadu-domba oleh kaum asing yang berambisi menjajah Indonesia. Sementara virus globalisasi telah mengantarkan bangsa Indonesia bersaing menjadi negara liberal tanpa diimbangi berdirinya penegakkan hukum secara universal.

Coba mengutip pernyataan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah yang berbunyi: “Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf), maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun satu. Maka terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 180). Berdasarkan penjelasan tersebut, termasuk kelompok manakah kaum muslimin di Indonesia?

Sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, patutnya kita prihatin karena sesungguhnya label demokrasi liberal tersebut menunjukkan kebebasan tanpa batas. Hal ini sangat berbahaya karena semakin menyuburkan perbedaan dalam berbagai hal, apalagi negara kita masyarakatnya heterogen yang kaya dengan perbedaan baik sifat maupun pola pikirnya. Jika merasa sebagai bangsa yang berke-Tuhan-an, seyogyanya batasan-batasan hidup sebagai manusia harus tetap dijaga. Apalagi penduduk negeri ini mayoritas adalah umat Islam, semestinya madhzab Imamah Jamaah diterapkan. Dengan kata lain, Bhineka Tunggal Ika dapat terlaksana jika fungsi kepemimpinan dapat berjalan sesuai aturannya. Baik sang pemimpin maupun yang dipimpin sama-sama menempatkan hak dan kewajiban sesuai porsinya.

Perhatikan firman Allah di dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat ke-153 yang artinya: “Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.”

Kesimpulannya, negeri kita harus kembali pada jalurnya untuk melanjutkan roda pemerintah ini, bukan lagi mengikuti trend demokrasi liberal yang disebarkan bangsa Barat. Jika bangsa ini ingin aman dan damai serta bermartabat di mata dunia, sebaiknya segera melaksanakan aturan hidaup yang telah diberikan Allah. Dan Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar harus mengimani apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah telah memerintahkan kita yang artinya: “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS.Ali Imran: 103). Ayat tersebut diperjelas oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam tafsirnya yang menyatakan: “Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105).
Wallahu’alam bishowab….