iqrozen.blogspot.com | Secercah
harapan muncul seiring berakhirnya Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak bola
Indonesia (KLB PSSI), yang digelar pada 17 Maret 2013 di hotel Borobudur -
Jakarta. Paceklik gelar juara yang telah lama melanda sepak bola Indonesia, berpeluang
terobati dengan bersatunya sepak bola Indonesia yang sempat mengalami
perpecahan. Inilah kerinduan pencinta bola tanah air yang telah menanti
bergulirnya liga profesional di bumi Indonesia, tanpa ada lagi dualisme kompetisi.
Karena, dengan pengelolaan sepak bola secara profesional yang utuh, akan
melahirkan prestasi gemilang di kancah sepak bola internasional.
Dalam
kongres yang dihadiri oleh 100 voter tersebut, dihasilkan beberapa kesepakatan untuk
melaksanakan agenda dari FIFA. Kesepakatan terpenting adalah penyatuan kembali
kompetisi dan kepengurusan sepak bola nasional Indonesia. Untuk unifikasi liga,
peserta kongres secara bulat menyetujui konsep yang diusung PT. Liga Indonesia,
yakni meneruskan bergulirnya Indonesian Super League (ISL). Selanjutnya, untuk
menyatukan kepengurusan PSSI, La Nyalla Mattalitti selaku ketua KPSI dengan
resmi membubarkan KPSI, yang sebelumnya menjadi kompetitor PSSI dalam urusan
kebijakan sepak bola nasional Indonesia.
Gelaran
KLB PSSI kali ini, telah memberikan harapan bagi pendukung timnas Garuda
Indonesia atas berakhirnya konflik yang telah ‘menggerogoti’ sepak bola
Indonesia belakangan ini. Seperti kita ketahui, Indonesia mengalami dekadensi
dalam dunia sepak bola akibat permasalahan internal dalam tubuh PSSI. Sejumlah
kejuaraan sepak bola mulai dari AFF Cup, Sea Games, Pra-kualifikasi Piala Asia,
sampai Pra-kualifikasi Piala Dunia, semuanya berlalu tiada berbekas. Paling
maksimal penggawa tim Garuda kita hanya meraih runner-up.
Sementara,
sejarah persepakbolaan Indonesia telah mencatat bahwa timnas Indonesia pernah
hadir dalam putaran final Piala Dunia Perancis pada 1938, meski atas nama
Dutsch East Indies (Hindia Belanda) dengan komposisi timnasnya didominasi pemain
Belanda. Kemudian pada 1958, Indonesia mampu
lolos ronde pertama dalam Kualifikasi Piala Dunia. Namun, timnas Indonesia
menolak untuk bertanding melawan Israel pada ronde kedua dikarenakan alasan
politis. Sungguh, kala itu Indonesia benar-benar menjadi kiblat sepak
bola Asia dengan sederet prestasinya.
Tinta
sejarah juga pernah mencatat prestasi sepak bola Indonesia ketika mencetak
hatrick sebagai juara pertama berturut-turut pada ajang Kejuaraan Pelajar Asia
pada 1984, 1985, 1986. Kemudian, berhasil menjadi juara pertama pada Turnamen
King’s Cup di Bangkok pada 1968 dan Turnamen Queen’s Cup di Bangkok pada 1971.
Bahkan, Indonesia mampu meraih medali emas di SEA Games 1991 Manila, Filipina.
Serta, banyak lagi prestasi cemerlang timnas sepak bola Indonesia yang telah
mampu mengangkat harga diri bangsa ini.
Dan
kini, asa itu muncul kembali bersamaan dengan penyatuan kembali liga Indonesia
yang sempat terbagi menjadi dua kompetisi, yaitu: Indonesian Premier League
(IPL) yang dilegalkan PSSI dan Indonesian Super League (ISL) yang bergulir di
bawah koridor KPSI. Bersatunya kembali kompetisi pada kasta tertinggi sepak
bola Indonesia, menuntut pemain-pemain sepak bola Indonesia menampilkan
kehebatannya dalam mengocek si kulit bundar, jika dirinya ingin masuk dalam kerangka
timnas Garuda Indonesia.
Sudah
barang tentu, kompetisi yang baik akan menghasilkan persaingan yang baik pula.
Persaingan yang baik akan mengembangkan bakat kemampuan pemain untuk dapat
tersalurkan sesuai porsinya. Hal tersebut dengan sendirinya akan memicu
munculnya pemain-pemain sepakbola nasional yang handal, yang mengisi komposisi
timnas Garuda Indonesia. Komposisi tim yang didominasi putra-putra terbaik
bangsa yang telah dibina dan diseleksi secara eksklusif. Jika demikian, tidak
mustahil sepak bola Indonesia dapat segera bangkit memboyong berbagai gelar
bergengsi dibidang sepak bola baik tingkat Asia maupun dunia.
Selain
itu, meleburnya kepengurusan sepak bola Indonesia antara Persatuan Sepak bola
Seluruh Indonesia (PSSI) dengan Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI),
mendorong berputarnya roda organisasi PSSI dengan sehat dan utuh. Tiada lagi
dualisme kepengurusan yang hanya menimbulkan perselisihan dan perdebatan yang
tiada ujung-pangkalnya. Bersatunya manejemen PSSI menunjukkan adanya
kebersamaan pengurus elite sepak bola Indonesia untuk fokus memajukan timnas
Garuda Indonesia.
Bukan
Sekedar Terbebas Sanksi FIFA
Sekedar
refleksi, sejak Juli 2011 terjadi konflik internal PSSI yang menyebabkan
terpecahnya liga sepak bola Indonesia. Kisruh yang berujung terbentuknya PSSI
versi Djohar Arifin dan KPSI versi La Nyalla Mattalitti sebagai buntut hilangnya
sinkronisasi antar pengurus PSSI. Hal tersebut telah membuat gusar pejabat
tinggi FIFA maupun AFC sebagai perwakilannya di Asia. Ancaman sanksi dari FIFA
pun membayangi perjalanan sepak bola Indonesia.
Beruntungnya,
sidang Komite Eksekutif (Exco) FIFA di Tokyo, Jepang, pada Jumat (14/12/2012)
memberikan kesempatan kepada federasi sepak bola Indonesia untuk menyelesaikan
konflik dualismenya paling lambat Maret 2013. FIFA sebagai induk sepak bola
dunia, dengan berbagai alasannya tidak jadi menjatuhkan sanksi atas konflik
dualisme PSSI tersebut hingga batas waktu yang telah ditentukan. Sehingga,
jajaran pemerintah dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
ikut mendorong terselenggaranya KLB PSSI secepatnya, demi terbebasnya sepak
bola Indonesia dari sanksi FIFA.
Berdasarkan
uraian tersebut, nampak bahwa KLB PSSI diselenggarakan hanya karena takut
sanksi FIFA. Jika tidak karena sanksi FIFA, mungkin KLB PSSI tidak segera
dilaksanakan dan selalu ditunda dengan berbagai dalih politisnya. Semua jajaran
petinggi sepak bola tanah air kita hanya ingin sepak bola Indonesia terbebas
dari hukuman. Tentu ini wajar dan sah-sah saja, namun ada hal penting yang
seharusnya digesa dan diprioritaskan bila berbicara sepak bola nasional kita
sekarang ini. Permasalahan gaji pemain yang hingga detik ini masih belum
terpecahkan, bahkan menyebabkan beberapa pemain menderita sakit hingga harus meregang
nyawa karena tidak sanggup membiayai kesehatannya.
Teramat
banyak pemain yang merumput di kompetisi sepak bola Indonesia sekarang ini,
kesejahteraannya diabaikan oleh manejemen klubnya. Hak mereka belum dipenuhi
pihak klub hingga beberapa bulan gaji yang seharusnya diterima. Janji tinggal
janji, semua pemain berjuang di tengah lapangan tanpa lagi memperhitungkan
hujan, panas, dinginnya angin malam dan ketatnya kompetisi. Namun, apa yang
diterimanya belum jelas dan kapan akan diselesaikan. Pemerintah telah menginstruksikan
larangan bagi klub yang menunggak gaji pemain, agar tidak ikut dalam kompetisi
profesional sepak bola Indonesia. Sayangnya, instruksi itu hanya bagai angin
lalu yang diacuhkan banyak manejemen klub sepak bola di Indonesia.
Apalah
arti sepak bola kita terbebas dari sanski FIFA sementara banyak pemainnya tetap
terlunta-lunta nasibnya? Bagaimana kita dapat menemukan pemain berbakat jika
reward yang diberikan tak sebanding dengan prestasinya? Mengapa juga
melaksanakan liga profesional sedangkan hak dan kesejahteraan pemain belum
dikelola secara profesional oleh beberapa manejemen klub? Mungkin ini diantara penyebab
stagnasi sepak bola kita yang tak kunjung berprestasi. Inilah yang juga perlu
menjadi pembahasan dalam KLB PSSI jika ingin mewujudkan sepak bola profesional.
Ditambah
lagi ulah suporter Indonesia yang sering berbuat onar, berujung kerusuhan yang
tidak jarang merenggut korban jiwa. Bukankah tawuran antar suporter dapat
menyebakan sanksi FIFA juga? Bahkan ulah suporter Indonesia telah banyak membuat
warga umum merasa was-was bila ada pertandingan sepak bola. Disinilah perlunya
pembahasan demi pendisiplinan suporter agar tidak ada lagi korban meninggal
akibat ulah sesama suporter. Tentu semua itu kembali pada kita semua baik itu pengurus
PSSI dan koleganya, pelatih dan pemainnya, masyarakat dan suporternya agar
bersama membangun kondisi sepak bola yang nyaman lagi kondusif. Semua itu tidak
lain dan tidak bukan demi mewujudkan impian insan bola pendukung timnas Indonesia
yang telah lama merindukan gelar juara.
Indonesia,
Menuju Sepak Bola Profesional
Konflik
dalam diri PSSI telah berakhir, dualisme sepak bola nasional Indonesia sudah
usai, saatnya menatap kompetisi yang akan datang dengan ambisi meraih yang
terbaik untuk timnas Garuda Indonesia. KLB PSSI memang berjalan panas dan alot,
banyak pihak yang mendukung namun tetap saja ada yang kontra dan berupaya
membuat kericuhan. Meski begitu, kongres yang dinanti-nanti seluruh masyakrakat
pencinta bola Indonesia itu sudah menghasilkan kesepakatan penting untuk
membangun kembali sepak bola kita. Tidak hanya pengurus PSSI yang hyarus
melaksanakan amanat KLB PSSI, semua masyarakat Indonesia memiliki tanggung
jawab yang sama dalam membangun sepak bola Indonesia.
Masyarakat
Indonesia yang tergabung dalam suporter merah-putih harus meenunjukkan
kesantunan dan menghilangkan anarkisme ketika mendukung timnas Garuda
Indonesia. Suporter harus mampu mengendalikan diri agar tidak memicu kerusuhan
masal yang selama ini sering kita saksikan. Sudah waktunya semua elemen bangsa
ikut dalam suksesi timnas sepak bola Indonesia meraih juara. Begitu pun para
pemain yang ditengah lapangan, tunjukkan profesionalisme dan sportifisme agar
tidak memancing emosi suporter. Sehingga sepak bola menjadi tontonan yang
menarik yang dapat disaksikan oleh segala umur baik pria maupun wanita.
Semua
kegagalan yang menyakitkan beberapa tahun akhir-akhir ini akibat kekalahan dan sering
dipecundangi oleh timnas dari negara tetangga harus segera dibalas. Sepak bola
Indonesia harus mampu mengatasi timnas negara-negara tetangga yang notabene
penduduknya jauh lebih sedikit dibanding kita. Artinya, kesempatan timnas
Indonesia memilih pemain hebat lebih terbuka dibanding negara yang berpenduduk
sedikit. Demikianlah persembahan indah bagi pencinta sepakbola tanah air dengan
lahirnya ‘The Dream Team of Garuda Indonesia’ yang selalu pulang memboyong
piala bergengsi di jagat sepak bola internasional.
Bersama-sama
kita kroscek budaya egoisme dari semua pihak terutama yang terkait dengan
lembaga sepakbola Indonesia. Sudah jelas, tingkat egois yang tinggi tidak akan
menghasilkan prestasi gemilang di segala bidang, karena tidak akan terbentuk
teamwork dalam satu pemahaman untuk meraih tujuan bersama. Antar pemain harus
terjalin hubungan harmonis dan kerjasama yang baik agar mampu mengalahkan
lawan-lawannya. Suporter dengan dukunga moril dan materil, siap membawa spirit
dari lapang hijau untuk selalu fair-play menerima apapun hasil pertandingan.
Karena kalah dan menang adalah sesuatu yang mutlak dalam pertandingan, dan
kegagalan adalah bagian dari keberhasilan yang tertunda.
Tidak
mudah memang dan pasti memerlukan waktu yang lama dalam menyusun kerangka timnas
Garuda Indonesia yang unggul. Namun, harapan senantiasa hadir dikala setiap
kita mampu tersadar untuk bangkit bersama membenahi kekeliruan dan kekurangan
yang ada. Masing-masing elemen sepakbola memiliki tekad kebersamaan dan rasa
fair-play yang tinggi, demi mewujudkan apa yang dicita-citakan masyarakat pencinta
sepak bola Indonesia, meraih gelar juara baik itu untuk tingkat ASEAN, Asia
bahkan dunia.
Kesimpulannya,
sekarang ini tiada guna lagi perdebatan atau saling menyalahkan atas
kemerosotan kiprah persepakbolaan bangsa kita. Dunia belum berakhir dan peluang
kebangkitan sepakbola Indonesia terbuka lebar. Perbaikan di segala lini yang
mengakomodir kepentingan bersama menuju bergulirnya kompetisi sepakbola
Indonesia yang utuh tanpa perpecahan. Demi terbentuknya tim sepakbola nasional
Indonesia yang akrab dengan piala bergengsi diberbagai ajang sepakbola dunia.
Indonesia pasti bisa!!!
Taken by google |