IQROZEN | Praktek korupsi yang berjamaah dan sistemik, menjadi salah satu penyebab terseok-seoknya roda pemerintahan bangsa Indonesia. Kepribadian korup tersebut perlahan namun pasti telah ‘menjangkiti’ banyak oknum baik di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun lembaga swasta di negeri ini. Ironisnya, perampokan hak-hak publik tersebut terjadi di negara yang mana mayoritas penduduknya beragama Islam.
Telah banyak fakta yang menunjukkan hampir meratanya jumlah pelaku crime extraordinary (kejahatan luar biasa) di berbagai lembaga masyarakat yang seharusnya melayani rakyat. Begitu lama penderitaan rakyat yang hak-haknya banyak disabotase penguasa yang sebenarnya hidupnya telah bergelimang mewah. Pertanyaannya, masih adakah hati nurani mereka yang telah sekian lama memiskinkan rakyat Indonesia?
Tidak hanya orang-orang yang ber-madzab kapitalis, kader-kader yang berbusana religius pun banyak yang menjadi tersangka skandal korupsi. Bukan hanya kaum pria yang berani melakukan korupsi, beberapa wanita cantik dan anggun pun tidak malu meraih gelar koruptor. Sungguh miris bila mencermati perkara korupsi yang merebak di tanah air kita akhir-akhir ini.
Tradisi korupsi bangsa ini telah mencapai titik nadir, karena sebagian besar elemen bangsa terutama yang duduk di kursi pemerintahan, secara sistematik melakukan gerakan menilap hak-hak rakyat. Mulai dari urusan kesehatan, pendidikan, peternakan, keamanan, keagamaan dan lainnya semua telah tercemari oleh ‘racun’ korupsi serta embel-embelnya. Permasalahannya, dapatkah Indonesia terbebas dari budaya korupsi?
Penting untuk digaris bawahi bersama, jika budaya korupsi di negeri ini masih dijunjung tinggi dan belum mengalami penurunan signifikan. Kejahatan publik tersebut masih belum terminimalisir dan menjadi masalah besar bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana rakyat akan patuh dan taat hukum? Jika masih banyak oknum-oknum yang menguasai kebijakan negara sering berbuat curang. Kapan juga rakyat akan sejahtera? Apabila sebagian besar pejabat negara masih menjadikan korupsi sebagai lahan bisnisnya.
Tidak dapat dibayangkan, lembaga legislatif yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat untuk menyerukan aspirasi rakyat dan membuat undang-undang negara. Faktanya, sebagian mereka justru begitu getol merampas harta rakyat. Tidak kalah hebohnya, banyak oknum dari lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang juga ikut andil dan beramai-ramai memonopoli hak rakyat. Tidak hanya pegawai pajak, bupati, gubernur, menteri, ketua partai atau oknum berpangkat lainnya. Bahkan, hakim yang seharusnya menjadi pengadil suatu perkara, juga terseret kasus korupsi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya hukum bila berhadapan dengan pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman ringan bagi koruptor yang diterapkan penegak hukum bangsa ini tidak memberikan efek jera. Hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun dan belum lagi adanya keringanan atau remisi, merupakan variabel dan faktor dominan tumbuh suburnya korupsi. Mestinya, koruptor dihukum minimal puluhan tahun dan maksimal hukuman mati. Selain itu, penyitaan harta dan memiskinkan koruptor adalah suatu keniscayaan bila ingin menekan tindak korupsi hingga level paling rendah.
Sudah saatnya rakyat Indonesia bangkit dari keterpurukan, rakyat harus bersatu berjuang melawan para koruptor yang telah begitu lama memiskinkan penduduk tanah air tercinta ini. Dekadensi moral yang dialami sebagian pemegang kekuasaan di negeri ini, wajib direkonstruksi total jika ingin Indonesia terbebas dari kehancuran akibat pembangkangan dan pemberontakan rakyatnya. Tanpa terkecuali umat Islam yang merupakan umat terbanyak di bumi pertiwi ini, sedapat mungkin melepaskan diri dari perilaku korup yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dr Raghib Assirjani, seorang cendekiawan asal Mesir dalam makalahnya Diwanundzar fil Mazhalim menuliskan, untuk mengantisipasi kesemena-menaan penguasa atau orang-orang terpandang, Khalifah Bani Umayyah membentuk mahkamah khusus yang diberi nama Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini khusus menangani kasus-kasus yang melibatkan orang-orang penting. Mahkamah Mazhalim tugasnya sangat banyak di antaranya, menangani tindakan zalim yang dilakukan pejabat, kecurangan yang dilakukan dengan mengambil harta yang bukan haknya, dan beberapa tugas penting lainnya.
Menyimak uraian singkat terkait fenomena korupsi yang senantiasa menyertai kehidupan umat manusia, dari zaman ke zaman. Perlu sekiranya umat Islam lebih mawas diri agar tidak terbuai rayuan harta korupsi yang sudah jelas diharamkan agama. Teladan dari kepemimpinan Rasulullah SAW yang dengan tegas menolak perilaku ghulul, merupakan jaminan bagi keberhasilan kepemimpinan bangsa.
Inilah yang mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan praktek korupsi elemen bangsa kita. Hasil Ijtima Ulama IV awal Juli 2012 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, salah satunya adalah fatwa MUI tentang Penyitaan Aset Tindak Pidana Korupsi. Fatwa MUI tersebut sinergi dengan Rancangan Undang-undang Penyitaan Aset Tindak Pidana Korupsi (RUU PATPK) yang telah disiapkan Ditjen PP Kemenkumham sejak 2011, sayangnya hingga detik ini vonis tersebut belum diterapkan. Wajar jika kemudian rakyat bersikap apatis terhadap program-program anti korupsi oleh pemerintah kita.
Dalam kacamata Islam, korupsi adalah perbuatan tercela yang sudah pasti mendatangkan siksa Allah di akhirat kelak. Rasulullah SAW memperingatkan umatnya dalam sebuah hadis yang artinya, “Siapa di antara kalian yang diamanahi sebagai pejabat publik, kemudian ia menyembunyikan jarum atau yang lebih dari itu untuk dimiliki, maka ini adalah ghulul yang di hari Kiamat ia akan datang bersama barang-barang yang digelapkannya.” (HR Muslim)
Bahkan, Dr Muhammad Bakar Ismail, seorang pengajar di Universitas al-Azhar Mesir berkata, “…Adapun jika dia telah mengkorupsi harta kemudian banyak berdampak pada terabaikannya hak-hak publik dan hal itu dilakukan berulang-ulang, maka orang seperti ini sudah masuk dalam kategori mufsid fil ardh (melakukan kerusakan di muka bumi).
Dan Allah SWT telah menyampaikan hukuman berat bagi mereka yang membuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 33, yang artinya, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara menyilang, atau dibuang (diasingkan) dari negeri tempat kediamannya.”
Demikian berbahayanya ulah koruptor sehingga tuntunan Islam telah menjelaskan dan menekankan pentingnya hukuman berat bagi pelaku korupsi. Begitu halnya dengan bangsa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, harus menerapkan vonis yang membuat kapok koruptor demi meminimalisir perkara korupsi. Degradasi moral yang terjadi sekian lama dan terus berlanjut dari periode ke periode pemerintahan, sudah seharusnya dimusnahkan dari bumi Indonesia. Langkah-langkah hebat dan solutif menjadi pelipur lara bagi rakyat Indonesia yang telah lama hidup miskin dan tertindas. Semoga!!!
Telah banyak fakta yang menunjukkan hampir meratanya jumlah pelaku crime extraordinary (kejahatan luar biasa) di berbagai lembaga masyarakat yang seharusnya melayani rakyat. Begitu lama penderitaan rakyat yang hak-haknya banyak disabotase penguasa yang sebenarnya hidupnya telah bergelimang mewah. Pertanyaannya, masih adakah hati nurani mereka yang telah sekian lama memiskinkan rakyat Indonesia?
Tidak hanya orang-orang yang ber-madzab kapitalis, kader-kader yang berbusana religius pun banyak yang menjadi tersangka skandal korupsi. Bukan hanya kaum pria yang berani melakukan korupsi, beberapa wanita cantik dan anggun pun tidak malu meraih gelar koruptor. Sungguh miris bila mencermati perkara korupsi yang merebak di tanah air kita akhir-akhir ini.
Tradisi korupsi bangsa ini telah mencapai titik nadir, karena sebagian besar elemen bangsa terutama yang duduk di kursi pemerintahan, secara sistematik melakukan gerakan menilap hak-hak rakyat. Mulai dari urusan kesehatan, pendidikan, peternakan, keamanan, keagamaan dan lainnya semua telah tercemari oleh ‘racun’ korupsi serta embel-embelnya. Permasalahannya, dapatkah Indonesia terbebas dari budaya korupsi?
Penting untuk digaris bawahi bersama, jika budaya korupsi di negeri ini masih dijunjung tinggi dan belum mengalami penurunan signifikan. Kejahatan publik tersebut masih belum terminimalisir dan menjadi masalah besar bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana rakyat akan patuh dan taat hukum? Jika masih banyak oknum-oknum yang menguasai kebijakan negara sering berbuat curang. Kapan juga rakyat akan sejahtera? Apabila sebagian besar pejabat negara masih menjadikan korupsi sebagai lahan bisnisnya.
Tidak dapat dibayangkan, lembaga legislatif yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat untuk menyerukan aspirasi rakyat dan membuat undang-undang negara. Faktanya, sebagian mereka justru begitu getol merampas harta rakyat. Tidak kalah hebohnya, banyak oknum dari lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang juga ikut andil dan beramai-ramai memonopoli hak rakyat. Tidak hanya pegawai pajak, bupati, gubernur, menteri, ketua partai atau oknum berpangkat lainnya. Bahkan, hakim yang seharusnya menjadi pengadil suatu perkara, juga terseret kasus korupsi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya hukum bila berhadapan dengan pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman ringan bagi koruptor yang diterapkan penegak hukum bangsa ini tidak memberikan efek jera. Hukuman penjara yang tidak lebih dari lima tahun dan belum lagi adanya keringanan atau remisi, merupakan variabel dan faktor dominan tumbuh suburnya korupsi. Mestinya, koruptor dihukum minimal puluhan tahun dan maksimal hukuman mati. Selain itu, penyitaan harta dan memiskinkan koruptor adalah suatu keniscayaan bila ingin menekan tindak korupsi hingga level paling rendah.
Sudah saatnya rakyat Indonesia bangkit dari keterpurukan, rakyat harus bersatu berjuang melawan para koruptor yang telah begitu lama memiskinkan penduduk tanah air tercinta ini. Dekadensi moral yang dialami sebagian pemegang kekuasaan di negeri ini, wajib direkonstruksi total jika ingin Indonesia terbebas dari kehancuran akibat pembangkangan dan pemberontakan rakyatnya. Tanpa terkecuali umat Islam yang merupakan umat terbanyak di bumi pertiwi ini, sedapat mungkin melepaskan diri dari perilaku korup yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya
Abu Zaini |
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Tidak
dapat dipungkiri jika ulah para koruptor akhir-akhir ini semakin
menjadi-jadi dan tidak memiliki rasa malu. Hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah pun tak luput menjadi ajang meraup kekayaan. Skandal penggelapan
dana haji dan Dana Abadi Umat, kasus suap pangadaan Alquran dan
laboratorium madrasah adalah kejahatan yang mencoreng nama baik umat
Islam. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang skandal korupsi?
Adakah koruptor yang bergentayangan ketika zaman Rasulullah dan para
sahabat masih hidup?
Dalam
Islam, permasalahan korupsi telah dibahas panjang lebar dan jelas. Imam
Nawawi berkata, al-ghulul (korupsi) asalnya bermakna pengkhianatan
terhadap harta umat. Sementara itu, menurut Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul
Muhsin al-Badr, dosen di Universitas Islam Madinah menyebutkan dalam
makalahnya Attahdzir Minal Ghulul bahwa di antara bentuk ghulul yaitu
seorang pegawai publik yang mengambil hadiah (gratifikasi) disebabkan
posisi dan pekerjaannya.Dr Raghib Assirjani, seorang cendekiawan asal Mesir dalam makalahnya Diwanundzar fil Mazhalim menuliskan, untuk mengantisipasi kesemena-menaan penguasa atau orang-orang terpandang, Khalifah Bani Umayyah membentuk mahkamah khusus yang diberi nama Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini khusus menangani kasus-kasus yang melibatkan orang-orang penting. Mahkamah Mazhalim tugasnya sangat banyak di antaranya, menangani tindakan zalim yang dilakukan pejabat, kecurangan yang dilakukan dengan mengambil harta yang bukan haknya, dan beberapa tugas penting lainnya.
Menyimak uraian singkat terkait fenomena korupsi yang senantiasa menyertai kehidupan umat manusia, dari zaman ke zaman. Perlu sekiranya umat Islam lebih mawas diri agar tidak terbuai rayuan harta korupsi yang sudah jelas diharamkan agama. Teladan dari kepemimpinan Rasulullah SAW yang dengan tegas menolak perilaku ghulul, merupakan jaminan bagi keberhasilan kepemimpinan bangsa.
Hukuman Berat bagi Koruptor
Dewasa
ini, praktek korupsi di Indonesia menjadi bagian yang beperan besar
dalam menurunkan harga diri umat Islam. Tidak dapat dipungkiri jika
oknum yang menjadi tersangka kasus korupsi di negara ini sebagian besar
beragama Islam. Tentu banyak faktor yang memicu mereka melakukan tindak
pidana korupsi. Namun, penyebab yang paling jelas terlihat dan dirasakan
belakangan ini adalah vonis hukum bagi koruptor yang tidak memberi efek
jera.Inilah yang mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan praktek korupsi elemen bangsa kita. Hasil Ijtima Ulama IV awal Juli 2012 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, salah satunya adalah fatwa MUI tentang Penyitaan Aset Tindak Pidana Korupsi. Fatwa MUI tersebut sinergi dengan Rancangan Undang-undang Penyitaan Aset Tindak Pidana Korupsi (RUU PATPK) yang telah disiapkan Ditjen PP Kemenkumham sejak 2011, sayangnya hingga detik ini vonis tersebut belum diterapkan. Wajar jika kemudian rakyat bersikap apatis terhadap program-program anti korupsi oleh pemerintah kita.
Dalam kacamata Islam, korupsi adalah perbuatan tercela yang sudah pasti mendatangkan siksa Allah di akhirat kelak. Rasulullah SAW memperingatkan umatnya dalam sebuah hadis yang artinya, “Siapa di antara kalian yang diamanahi sebagai pejabat publik, kemudian ia menyembunyikan jarum atau yang lebih dari itu untuk dimiliki, maka ini adalah ghulul yang di hari Kiamat ia akan datang bersama barang-barang yang digelapkannya.” (HR Muslim)
Bahkan, Dr Muhammad Bakar Ismail, seorang pengajar di Universitas al-Azhar Mesir berkata, “…Adapun jika dia telah mengkorupsi harta kemudian banyak berdampak pada terabaikannya hak-hak publik dan hal itu dilakukan berulang-ulang, maka orang seperti ini sudah masuk dalam kategori mufsid fil ardh (melakukan kerusakan di muka bumi).
Dan Allah SWT telah menyampaikan hukuman berat bagi mereka yang membuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 33, yang artinya, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara menyilang, atau dibuang (diasingkan) dari negeri tempat kediamannya.”
Demikian berbahayanya ulah koruptor sehingga tuntunan Islam telah menjelaskan dan menekankan pentingnya hukuman berat bagi pelaku korupsi. Begitu halnya dengan bangsa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, harus menerapkan vonis yang membuat kapok koruptor demi meminimalisir perkara korupsi. Degradasi moral yang terjadi sekian lama dan terus berlanjut dari periode ke periode pemerintahan, sudah seharusnya dimusnahkan dari bumi Indonesia. Langkah-langkah hebat dan solutif menjadi pelipur lara bagi rakyat Indonesia yang telah lama hidup miskin dan tertindas. Semoga!!!