Anarkisme Melemahkan Hukum

iqrozen.blogspot.com | Konflik silih berganti terjadi di bumi pertiwi ini, kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun semakin terancam. Kini, brutalisme menjadi budaya bangsa yang dahulu kala terkenal dengan budaya tepo seliro para penduduknya. Tidak hanya rakyatnya yang kisruh atau hanya suporter bolanya yang rusuh, aparatur keamanan negara pun ikut-ikutan anarkis. Ditambah lagi, banyak bergentayangan pemimpin yang rakus merampok hak-hak rakyat, menjadi pemicu berkecamuknya rakyat. Lengkap sudah dekadensi moralitas bangsa Indonesia saat ini, entah sampai kapan semua ini akan berlangsung?

Pantas kiranya negara kita ini disebut ‘Negara Kisruh’ yang dihuni preman-preman berpangkat, preman yang berpendidikan dan katanya menjunjung nilai-nilai Pancasila. Tentu tidak semua rakyat negeri ini berakhlak preman, faktanya kriminalitas terlalu sering terjadi di sekeliling kita. Pertanyaannya kemudian, masih adakah tempat yang aman di atas tanah air Indonesia saat ini dan saat yang akan datang?
Bentrok TNI versus Polri yang terjadi di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, pada Kamis, 7 Maret 2013 menjadi pukulan telak bagi sistem kemanan bangsa ini. Seperti diberitakan di banyak media massa, penyerangan Markas Polres OKU oleh anggota Yon Armed 76/15 Martapura, setidaknya mengakibatkan tiga perempat gedung Mapolres OKU hangus terbakar. Selain gedung, ada 70 kendaraan roda dua habis terbakar, 6 kendaraan roda empat rusak parah. Lebih parah lagi, beberapa anggota Polres OKU mengalami luka berat dan beberapa anggota TNI yang sedang melakukan pengamanan bersama di Mapolres mengalami luka memar. (merdeka.com).
Ironinya, konflik tersebut bukanlah satu-satunya pertikaian yang terjadi antara dua kesatuan pengaman negara kita itu. Berdasarkan catatan Kontras yang dirilis pada 2012, telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri. Artinya, dalam sebulan setidaknya terjadi dua kali bentrokan. Sepanjang 2012 saja, bentrokan sudah menewaskan sebelas orang, tujuh dari Polri dan empat dari TNI, serta 47 aparat dari dua institusi tersebut terluka (republika.co.id).
Sungguh arogansi menjadi ‘panggung’ pertunjukan yang memenuhi ruang berita akhir-akhir ini. Mulai dari tawuran pelajar, pertikaian antar kampung, terorisme, mutilasi, pemerkosaan yang berujung pembunuhan dan seabrek kejahatan publik lainnya yang entah kapan akan berakhir. Bukankah ini menjadi celah bagi musuh-musuh negara untuk menjajah bangsa kita ini? Siapakah yang seharusnya kelak bertanggung jawab apabila Indonesia kembali dijajah bangsa asing?
Perlu kita ketahui bersama, jika TNI dan Polri digaji oleh negara yang uangnya diambil dari pajak rakyat. Artinya, dua kesatuan tersebut makan dan minum dari sumber yang sama, dapat dikatakan juga bahwa TNI dan Polri bersaudara. Jika sesama saudara saja sudah saling bantai, bagaimana hubungan mereka dengan rakyat yang mesti diayominya? Siapa juga yang akan menjaga keutuhan NKRI? Kemana lagi rakyat akan berharap terkait keamanan dan kedamaian diri serta keluarganya?
Teramat banyak permasalahan yang kemudian lahir dengan sendirinya, ketika aparatur negara tidak lagi mampu melaksanakan tugas dan fungsinya. Konflik internal maupun eksternal semakin sulit diminimalisir apalagi ditanggulangi. Belum lagi rakyat Indonesia sangat terkenal dengan heterogensinya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hal inilah sekiranya yang menjadi bahasan utama para stake holders bangsa kita sebelum mereka berkoar-koar dalam kampanye demi merebut simpati rakyat.

Dimana Akar Masalahnya?
Banyak spekulasi pendapat yang bermunculan terkait penyebab konflik TNI dan Polri, khususnya tragedi di Mapolres OKU yang baru-baru ini terjadi. Mulai dari ‘ringan tangan’ oknum Polri dalam melepaskan tembakan, kasus korupsi Simulator SIM oleh elite Polri, perbedaan pelimpahan wewenang dan sistem senjata (alutsista) sampai pada urusan kesenjangan gaji maupun kesejahteraan antara kedua kesatuan pengaman negara tersebut. Secara sekilas, memang banyak pihak yang cenderung memojokkan kesatuan Polri.
Dan tidak bermaksud ikut-ikutan mendiskriminasikan Polri, penulis coba mengutip pernyataan yang banyak beredar di media massa. Berdasarkan data dari Indonesia Police Watch (IPW), sepanjang tahun 2012 yang lalu saja ada 37 kasus salah tembak dan main tembak oleh polisi. Korbannya 49 orang, 17 tewas dan 32 luka. Memasuki 2013, aksi koboi polisi masih saja marak terjadi. Bahkan hingga 7 Maret ada 4 kasus salah tembak yang belum ditangani dengan maksimal. Wajar dong jika kemudian banyak yang merekomendasikan pembubaran Densus 88 yang belakangan ini dinilai anarkis dan sering berbuat aniaya.
Terlepas dari itu semua, perseteruan antara TNI dan Polri memiliki potensi permasalahan yang serius dan harus segera ditangani. Regulasi pemerintah harus benar-benar diterapkan dan dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa ada pengecualian. Penegakkan hukum harus berpijak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harapannya, koruptor dapat jera karena dimiskinkan, pengedar dan pecandu narkoba dibinasakan bukan malahan dibela, pelaku pembunuhan dan mutilasi diganjar hukuman setimpal agar tidak ada lagi rasa balas dendam akibat ketimpangan hukum.
Jika itu semua dapat terwujud di kancah proses peradilan bangsa kita, penulis teramat yakin bahwa tidak akan lagi terlihat kericuhan di ruang sidang. Terlebih demonstrasi berujung bentrok dalam upaya rakyat menuntut hak-haknya yang salah satunya adalah keadilan. Keadilan yang tidak dapat diperjual-belikan dengan uang apalagi hasil korupsi, bukan pula keadilan yang diintervensi pejabat negara baik itu presiden, menteri dan jajaran lainnya.

Fenomena Hukum di Indonesia
Masih hangat di angan kita semua yang menyimak berita, dimana mandeknya banyak kasus hukum yang melibatkan pejabat-pejabat penting negara ini. Tragedy luapan lumpur lapindo yang hingga detik ini masih belum jelas nasib para korbannya, yang notabene rakyat kecil. Skandal Bail Out Bank Century yang disinyalir ada campur tangan penguasa saat ini pun stagnan tanpa gerakan. Sepakat atau tidak sepakat, rakyat sudah muak dengan konspirasi politik yang mencemari berbagai bidang kehidupan sekarang ini.
Belum lagi kontroversi vonis mantan putri Indonesia, Angelina Patricia Pingkan Sondakh. Coba ingat drama dugaan suap yang diperankan Angie cs, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Angie dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara, jaksa telah mendakwa Angie menerima uang Rp 12,5 miliar dan USD 2,35 juta atau lebih dari Rp 32 miliar. Apakah ini yang namanya hukum untuk membuat jera koruptor? Mana janjinya yang ingin memiskinkan siapa pun pelaku korupsi di negeri ini?
Ada lagi proses hukum yang menganak-emaskan tersangka, salah satu contohnya proses peradilan yang dijalani Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa, anak sang menteri sekaligus besan presiden RI saat ini. Rasyid tidak ditahan selama proses penyidikan karena banyak pertimbangan dan lain sebagainya. Mungkin ini terobosan positif apabila diterapkan untuk seluruh lapisan masyarakat, agar dapat mengurangi tindakan salah tangkap yang berujung penganiayaan dan sebagainya. Kenyataannya, jika yang menjadi tersangka rakyat jelata buru-buru ditahan dan dikurung. Entah nantinya terbukti atau pun tidak yang penting sudah merasakan dinginnya dinding sel tahanan, bahkan ada yang babak belur terlebih dahulu seperti apa yang dilakukan beberapa oknum densus 88.
Parahnya lagi, hingga detik ini masih marak kasus beredarnya narkoba di lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau penjara. Tempat yang digadang-gadang sebagai wadah recoverinya orang-orang bermasalah, justru menjadi sarangnya gembong pengusaha maupun penjaja narkoba cs. Berdasarkan data terbaru dari Polda Metro Jaya, kepolisian berhasil menyita barang bukti berupa 6,4 kg shabu, 6700 butir ekstasi, 2300 butir ekstasi kapsul dan 1100 butir happy five yang peredarannya dikendalikan oleh tiga napi dari dalam lapas. Barang haram tersebut apabila dikonversi dalam rupiah mencapai Rp 13 milyar dan dapat menyelamatkan 71.500 orang (tribunnews, 28/1/2013).
Lucunya, mengapa santunan “remisi” diobral kepada mereka yang sengaja membawa racun itu ke dalam negeri ini? Dimanakah tempat yang bersih untuk membesarkan dan membina putra-putri bangsa kita? Jika di negara lain pengedar narkoba dan kroninya mendapat ancaman hukuman mati atau paling tidak babak belur dihajar petugas, sebaliknya di Indonesia banyak syafa’at bagi mereka yang telah terbukti mengkonsumsi, menyelundupkan dan mengedarkan narkoba.
Berkaca dari permasalahan tersebut, inikah wajah hukum bangsa kita yang mestinya dijunjung dan ditaati? Hukum yang mau tidak mau harus diakui sebagai warisan hukum kolonial Belanda. Hukum yang hanya disusun untuk menjerat dan mendoktrin rakyat kecil saja. Hukum yang tajam menebas kriminal kelas jelata dan tumpul bila berhadapan dengan kejahatan berpangkat. Jika demikian, tidak ubahnya kita sedang hidup di zaman penjajahan Belanda yang pernah berlangsung 350 tahun lamanya.

Ajakan dan Tawaran Solusi
Mungkin uraian-uraian tersebut terlalu berlebihan, namun itulah realitas yang sedang bangsa ini hadapi. Ketidak-adilan telah mengkotak-kotak rakyat negeri ini sehingga rawan sekali perpecahan yang mungkin hanya karena hal-hal sepele. Ketimpangan hukum menyulut dendam yang membara meski tampak damai, bagaikan bara dalam sekam. Aturan dan perundang-undangan yang disusun dengan biaya tidak sedikit terhenti di meja legislatif tanpa aplikasi nyata. Andai pun telah disepakati dan telah disosialisasikan, maka bagi rakyat semua itu hanya sebagai pemberitahuan semata. Lagi-lagi, masalahnya adalah sanksi hukum yang tebang pilih dan tidak menjerakan.
Marilah masing-masing kita merekonstruksi kepribadian diri untuk menjadi makhluk yang taat hukum, baik hukum negara maupun hukum Tuhan. Presiden dan para menterinya, DPR beserta perwakilannya, gubernur dengan bawahannya, tentara dengan kesatuannya, Polri dengan jajarannya, rakyat dengan keluarganya dan semua elemen bangsa ini memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Jadi, jangan lagi ada permainan politik dalam setiap proses hukum untuk siapa pun. Harapannya, tidak ada lagi dendam berujung kekerasan karena penerapan hukum telah memberikan jaminan hak-hak setiap individu dengan adil dan bijaksana. Jayalah Indonesiaku!!!