iqrozen.blogspot.com | Keprihatinan mendalam ketika melihat begitu maraknya acara-acara konser bertajuk panggung musik terbuka. Di barisan paling depan tampak wajah polos para remaja yang sedianya disibukkan oleh tanggungjawab menuntut ilmu. Remaja dan pemuda yang menjadi harapan penerus regenerasi bangsa ini, kini telah terkontaminasi budaya hedon apalagi yang berhubungan dengan konser musik. Inilah bentuk penjajahan masa kini yang nyata terjadi di depan mata kita.
Sebagaimana berita-berita terkait penyelenggaraan konser musik akhir-akhir ini, terlihat jelas bahwa sebagian besar penontonnya adalah remaja dan pemuda generasi bangsa kita. Herannya, meski berjubel dan berdesakan mereka rela hadir dengan membeli tiket yang super mahal hanya demi menyaksikan idolanya beraksi di atas panggung. Bila dipikir sebenarnya mereka yang berdesak-desakan dan sekedar menjadi penonton tidak akan mendapatkan apa-apa, selain waktu yang terbuang dan pemborosan serta mendapatkan dosa karena ber-ikhtilat tanpa manfaat.
Secara lokal, diantaranya bisa kita lihat konser di waktu pagi yang diselenggarakan beberapa stasiun televisi swasta, nampak ramai oleh penonton-penonton remaja usia sekolah. Sementara waktu tersebut merupakan jam pelajaran sekolah, ironisnya konser tersebut setiap hari digelar dan senantiasa tiada sepinya dikunjungi penonton belia. Pertanyaannya, darimana asal-usul budaya hiburan semacam itu? Apa motif dibalik penyelenggaraan acara tersebut?
Sementara untuk level internasional, Indonesia terbilang cukup ‘getol’ mengadakan konser dengan mengundang musisi luar negeri. Mulai dari Justin Bieber, Richard Marx, grup band Simple Plan, penyanyi legendaris Rod Stewart, dan yang paling heboh propaganda konser Lady Gaga meski akhirnya batal manggung di Indonesia. Sungguh penjajahan terselubung yang melanda negeri kita dan telah merenggut jati diri sebagian besar generasi bangsa saat ini.
Ketika kita mengikuti perkembangan pro-kontra terkait rencana Konser Live Lady Gaga di Indonesia, hati nurani ini seharusnya sepakat mengatakan tidak ada tempat untuk ‘boneka’ yang berlabel kegelapan itu. Karena figurnya yang sangat kontra dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita dapat menyesatkan paradigma anak bangsa. Namun, mengapa masih saja ada pihak yang mendukung terselenggaranya konser Lady Gaga di bumi kita ini? Sadarkah kita akan adanya konspirasi di balik rencana konser tersebut?
Menolak Konser Lady Gaga |
Bila mengetahui profil Lady Gaga yang banyak dapat kita akses di berbagai media masa, ketakutan sepatutnya kita tunjukkan tatkala generasi bangsa mulai terbius gaya hidupnya. Lady Gaga tidak ubahnya ‘alat perang’ Amerika yang digunakan memporak-porandakan pola pikir generasi bangsa yang hendak dijajahnya. Lambang-lambang setan yang sering melekat pada aksesoris tubuhnya, menjadikan bukti bahwa manusia ini adalah pembawa risalah sesat yang merusak tatanan umat beragama.
Konser Musik dan Misi Penjajahan
Kembali membuka sejarah penjajahan yang pernah bangsa kita alami, mulai zaman kerajaan hingga penjajahan Belanda yang berabad-abad lamanya. Bukan rahasia lagi ketika banyak kerajaan-kerajaan adidaya di Nusantara kala itu hancur akibat punggawa-punggawa kerajaan yang banyak terlena dengan dunia hiburan yang identik dengan musik dan wanita. Dan itupun terjadi tatkala Kolonial Belanda menjejakkan kaki di bumi pertiwi ini, mereka menyuguhkan hiburan-hiburan demi merebut simpati rakyat yang kemudian ditindasnya hingga 3,5 abad lamanya.
Dan sekarang zaman itu seakan-akan terulang di hadapan kita. Mulai dari remaja hingga orang dewasa, baik yang kaya atau miskin, berstatus kuli maupun pejabat dan entah itu pria atau wanita semua kini ‘gandrung’ terhadap dunia musik. Peluang tersebut dimanfaatkan pihak promotor yang sebagian besar kaki tangan dari bangsa Barat yang senantiasa mengejar gold, glory dan gospel. Sehingga wajar jika setiap hari di manapun di negeri ini selalu ada panggung hiburan bertajuk konser live dengan artis yang tidak jelas keteladanannya.
Seorang ulama, Ibnul Jauzi di dalam Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52 menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya jika seseorang bernyanyi berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya. Misalnya menggoyang- goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, sangat jelas bahwa nyanyian cenderung mendorong seseorang ke arah perbuatan tidak jelas seperti perbuatan para pemabuk”.
Maka bahaya nyata dari kebiasaan putra-putri bangsa yang kini kian merebak diantaranya mereka rajin menghadiri acara-acara konser musik. Perubahan segera tampak dari cara mereka berdandan dan berperilaku, yang mana akan identik dengan idola mereka di panggung konser tersebut. Budaya cinta ilmu dengan sendirinya terkikis habis sehingga menjadikan mereka bagaikan ‘boneka’ yang mudah dimainkan oleh penjajah yang senantiasa mengincar kehidupannya. Jika demikian, kapan bangsa kita benar-benar merdeka dari doktrin bangsa lain seperti Amerika dan sekutunya?
Lemahnya Filterisasi Pemerintah
Akulturasi budaya yang sejatinya tidak sepadan nampak dipaksakan oleh oknum pemerintah kita demi meraup keuntungan pribadi atau golongannya semata. Masuknya budaya Barat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran menjadi ‘virus’ yang merusak kebudayaan lokal negeri kita. Bayangkan, jika semua remaja dan pemuda di negeri ini mengidolakan Lady Gaga kemudian mengikuti gaya hidupnya. Masih tampakkah nilai luhur budaya bangsa yang menjunjung kesantunan dalam jati dirinya?
Sudah terlalu jauh pemerintah kita menutup mata dalam menerima tamu asing yang menebarkan budaya Barat. Dengan alasan ekspresi seni, sering pemerintah membiarkan budaya Barat mengadakan pertujukkan tanpa ada sensor. Kelemahan dalam memfilter inilah kemudian memicu penolakan dari mayoritas masyarakat kita akan misi-misi tersembunyi yang diusung Irshad Manji, Lady Gaga dan figur-figur sesat lainnya.
Generasi Bangsa, Tanggungjawab Bersama
Tidak ada lagi waktu untuk berdebat jika kita melihat keterpurukan yang melanda bangsa ini, langkah konkrit dan solutif menjadi harga mati untuk segera dilakukan. Dan generasi muda yang menjadi harapan bangsa harus segera diselamatkan dari hipnotis hedon yang dibawa budaya Barat. Gerakan cinta ilmu harus kembali dikampanyekan bersama agar remaja dan pemuda kita dapat menerpa dirinya menjadi kaum intelektual yang memiliki idealism diri. Dengan demikian tidak akan mudah paham-paham asing yang menyesatkan datang mempengaruhinya.
Penolakan pada konser Lady Gaga bukan sebuah langkah untuk mendiskriminasikan seseorang, hal ini mutlak dilakukan kepada siapa saja yang menebarkan budaya asing dan bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita. Jika kita tidak ingin timbul keresahan dan kekacauan dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia ini, maka janganlah menyulut hal-hal controversial yang hanya menguntungkan pihak kapitalis.
Akhirnya, kita bersama patut mengapresiasi langkah POLRI dan sebagian pejabat negeri ini yang sepakat tidak memberikan izin terlaksananya konser Lady Gaga di Indonesia. Namun itu semua belum cukup, karena penulis yakin masih banyak Lady Gaga serupa yang akan datang dan membius generasi bangsa kita dengan doktrin-doktrin liberalnya. Maka kita semua sebagai keluarga besar bangsa Indonesia harus tetap mawas diri demi menjaga martabat dan keutuhan NKRI yang kita cintai ini. Merdeka hidup mulia!!!