Dakwah Pasca Kerusuhan Ambon


iqrozen.blogspot.com | Namanya Taufikur Rahman, da’i yang lebih akrab dengan panggilan Roman ini mulanya seorang pendiam dan sulit untuk bersosialisasi. Mendapatkan amanah untuk berdakwah di Toboliwa,Tobelo-Halmahera Utara pada akhir 2011 lalu. Berdakwah di daerah bekas konflik dengan pembantaian terparah saat kerusuhan Ambon kala itu, benar-benar menjadi tantangan hidup yang luar biasa bagi mantan mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam itu. Berjuang sendiri di tengah kaum mayoritas Kristen tak menyurutkan semangat dakwahnya meski usia tergolong belia.
Sarana-prasarana alakadarnya, hanya Masjid kosong dan dua hektar tanah bukan menjadi penghalang da’i muda asal Pamekasan-Madura ini untuk merintis peradaban Islam di Toboliwa. Meski Halmahera tergolong kaya karena terdapat banyak tambang minyak dan tambang emas, namun kelangkaan Al-Qur’an dan sarana pembelajaran masih ditemukan di mana-mana. Bahkan kekurangan tenaga pendidik di beberapa sekolah formal karena minimnya Sumber Daya Manusia yang mumpuni untuk menjadi seorang guru.
Kehidupan kaum Muslim di Toboliwa yang kini tersisa sekitar 200 kepala keluarga pasca-pembantaian, senantiasa berada dalam himpitan Misionaris yang di dukung Australia dan Belanda. Gerakan Misionaris di Toboliwa tergolong sukses karena banyak umat Islam yang telah murtad, maraknya pe-murtad-an tersebut juga dipengaruhi banyaknya Rumah Sakit Kristen yang didirikan oleh Belanda dan Australia. Inilah yang menuntut da’i Alumnus STAIL Hidayatullah Surabaya itu untuk merintis pesantren dan mendirikan lembaga pendidikan demi menyelamatkan akidah warga di sana.
Roman harus bersusah payah tatkala ada undangan ceramah ataupun khutbah Jumat yang datang dari daerah tetangga, ketiadaan alat transportasi menjadikannya hanya pasif menunggu jemputan atau bahkan harus berjalan kaki untuk dapat sampai di tempatnya mengisi kajian ke-Islam-an. Semakin kompleks tantangan dakwahnya karena keberangkatannya ke Toboliwa tidak disertai teman atau saudara sehingga ia harus berjuang sendiri di tanah bekas konflik tersebut.
Suasana mencekam senantiasa dirasakan warga Muslim Toboliwa meski daerah tersebut tergolong jalur ramai karena terletak diantara tiga wilayah transmigrasi yang mayoritas penduduknya dari Jawa. Roman sendiri hampir sebulan tidak berani keluar rumah ketika awal penugasannya, namun semangat jihadnya mendorong dirinya untuk keluar bersosialisasi diri dan menyebarkan dakwah Islam. Sungguh sebuah kisah perjuangan yang mengharu-biru demi tegaknya peradaban Islam yang telah dirindukan seluruh umat manusia.