Cerita Fiksi : Sang Pembeda

Pagi ini, mentari menyambut hangat kedatanganku di kota kelahiranku tercinta, Yogya. Aku buru-buru melangkah ke luar bandara berharap segera bertemu orang yang menjemputku. Tidak berselang lama, seseorang menghampiriku. Aku mencoba mengintrogasi lelaki yang mengaku pamanku itu, cukup lama hingga diriku menjadi yakin padanya. Tanpa menunggu lama, kami pun segera meluncur menuju Surga tempat peraduanku waktu kecil.

Rumah sepi. Ayah dan Ibu tidak terlihat. Memang aku pulang kali ini dalam rangka menjenguk ayah yang katanya beberapa waktu terakhir ini menderita sakit kronis. Kena santet katanya. Aku tak terlalu larut akan hal-hal mistis yang dikait-kaitkan dengan penyakit ayah, bagiku zaman yang telah mengeliminasi kepercayan klasik tersebut dari dalam diriku.
"Saraaah... " Suara itu menyadarkanku dari lamunan.

Cerita Fiksi

Ibu telah berdiri tepat di hadapanku. Suaranya masih seperti dulu lembut dan penuh keikhlasan. Senyumnya tidak pernah pudar sekejap saja, bahkan saat kondisi ayah yang terbaring lemah bak mayat hidup. Ayah sedang koma.

Sembari menyibukkan dirinya merapikan barang bawaanku, ibu tiada henti-henti memohon agar diriku senantiasa mendoakan ayah agar dapat kembali pulih seperti sedia kala.
"Sarah, jangan berhenti mendoakan ayahmu ya, Nak! Kamu juga harus rajin sholat dan baca Alquran."
"Iya bu." Jawabku ringkas.

Tersadar selama menuntut ilmu di Paris, aku jarang sekali melakukan nasehat-nasehat yang diwasiatkan oleh ayah dan ibu, yakni sholat dan baca Qur'an.
"Pakai jilbab juga ya, Nak. Untuk menutup auratmu." Imbuh ibu.
"Apa, Bu?" Aku cukup kaget dengan perintah ibu yang baru saja diucapkan. "Ibu yang menyuruh Sarah kuliah ke luar negeri. Sekarang ibu ingin menyulitkanku dengan jilbab yang jelas-jelas akan mengganggu rutinitasku di sana." Cetusku menimpali.

Kami diam sesaat.
"Bu, Sarah mau bertanya. Apakah jika kita rajin sholat, baca Qur'an dan memakai jilbab dapat menyembuhkan ayah?"
"Kesembuhan itu milik Allah. Dan... "

Belum sempat ibu melanjutkan kalimatnya, aku berdiri beranjak menghentikan dialog itu. Wajah ibu tampak menyimpan kesedihan yang amat sangat. Tampak buliran air mata yang membuncah namun enggan menetes. Ibu begitu memahamiku yang sulit mengendalikan emosi, terlebih setelah kondisi ayah yang sakit akibat ulah janda mantan teman SMA-nya dulu.

Seminggu berselang, aku melakukan apa saja yang aku suka tanpa menyapa ibu sekalipun. Aku tahu ibu pasti sudah memaafkan segala kesalahanku. Wanita itu begitu sabar dan tegar menghadapi ujian hidup ini, termasuk memiliki putri sepertiku. Ia tidak pernah absen sholat dan membaca Alquran, yang dirangkai dengan rintihan doa tuk kebaikan ayah juga diriku.  Tapi, entah kenapa dengan aku yang masih egois, menolak segala bentuk ibadah yang telah ibu ajarkan.

Aku berjalan ke luar kamar menuju ruang tamu yang penuh dengan kardus-kardus besar dibungkus kertas padi. Kupanggil ibu berkali-kali tanpa jawaban. Ingin rasanya berteriak. Timbul hasratku untuk membuka kardus yang paling besar. Kubuka perlahan. Ada desiran rasa aneh yang menjalari aliran darahku. Perasaanku berkecamuk. Takut, ragu dan cemas. Sungguh mencekam. Aku mencoba menenangkan pikiran, sembari jemari ini terus melepaskan solasi pembungkus kardus itu.

Kardus terbuka, isinya pun jelas dan sangat familiar bagiku, sebuah Alquran. "Cuma Alquran?" Pikirku dan beranjak kembali masuk kamar. Anehnya, aku merasa ada yang memperhatikanku. Buru-buru kututup puintu kamar. "Hah!!!" Kulihat ayah duduk di sudut ranjangku. Kepalanya menunduk, tampak bibirnya pucat bergetar. Ia berusaha menyebut namaku, namun buliran darah menetes dari sela-sela bibirnya itu.
"Sarah... Sarah... Sarah..."

Akh... Aku terbangun, napasku tersengal-sengal seperti habis berlari. Kulihat ibu duduk di sampingku. Aku memeluknya. Ibupun menceritakan semuanya. Ibu bilang jika diriku sudah tertidur selama dua hari.

1/1/2015
Aku menghirup teh hangat, tersenyum mengenang kisah di awal-awal masa kuliah di negeri orang (Paris). Hanya satu kalimat ibu yang begitu sulit kulupakan hingga kini, "Sarah, Ayah minta didoakan, Nak!"

Sang Pembeda

Inilah aku sekarang, memilih mengajar di TPA walau sudah bergelar sarjana dari luar negeri. Bukan tanpa alasan, Alquran membuatku memiliki sudut pandang baru yang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang samar-samar dan mana yang jelas. Sungguh Alquran Sang Pembeda.
Cerita Fiksi : Sang Pembeda
IQROZEN : Sang Pembeda

Oleh : Siti Nurhaswinda
Cerita ini adalah fiktif belaka, mohon maaf bila ada kesamaan nama atau karakter dalam penokohannya.