iqrozen.blogspot.com | Masih
dalam suasana peringatan HUT PGRI ke-67 yang baru saja kita lewati. Tidak hanya
dalam seremonial simbolik yang dilaksanakan pada 25 Nopember tahun ini, di
berbagai media cetak maupun media elektronik turut sibuk mengangkat topik
tentang guru, sosok yang begitu dekat dan berarti dalam sejarah perjalanan
hidup setiap anak manusia. Kita semua tentu sependapat jika esensi perubahan
dalam hidup ini adalah guru, baik itu guru yang membimbing kita secara
langsung dan tidak langsung dalam hal ini adalah manusia beserta teknologinya,
maupun guru yang berupa wahyu dan hikmah yang diturunkan Tuhan sebagai
pembimbing ummat manusia.
Berbicara
tentang guru pasti berkaitan erat dengan dunia pendidikan, dua hal yang tak
mungkin terpisahkan layaknya dua sisi mata uang. Sementara, kompleksitas
problema pendidikan di Indonesia yang ibarat benang kusut, seakan menjadi
cerita bersambung yang hangat dan tiada putus untuk dibicarakan. Sebut saja maraknya
kasus tawuran pelajar akhir-akhir ini, terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan nasional, kurangnya tenaga guru yang kompeten, tingginya biaya
pendidikan, hingga masalah kurikulum yang silih berganti akibat spekulasi
kebijakan dari oknum penguasa pemerintahan negeri kita.
Catatannya,
perubahan kurikulum pendidikan nasional yang
tergolong sering di negeri kita belum mampu memberi solusi konkrit pada masalah
yang dihadapi dunia pendidikan negeri ini. Coba ingat, kurang lebih sudah 11
kali pemerintah Indonesia merombak kurikulum pendidikan nasional sejak
proklamasi kemerdekaan RI. Dan beberapa kurikulum yang sempat penulis ‘nikmati’
diantaranya: kurikulum tahun 1984 yang memperkenalkan model Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA), kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999, kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dan Kurikulum 2006 yang
dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), adakah hasil
signifikan dari sistem pendidikan selama bergulirnya kurikulum tersebut?
Jika kembali pada maklumat Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4
yang menyatakan: “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, tentu segudang
persoalan akan kita temukan pada tujuan pendidikan nasional saat ini. Apakah
mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud itu lahirnya para koruptor? Atau
terwujudnya pelajar cinta tawuran yang ujungnya meresahkan ketentraman hidup
masyarakat. Apa mungkin
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan melahirkan generasi hedonis yang gemar
hura-hura dan seks bebas? Memang tidak semua seperti itu keadaannya, namun
fenomena di depan mata saat ini tidak dapat dipungkiri lagi.
Belum lagi dilema mafia pendidikan yang bergentayangan di
tanah air, yang semata-mata mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan
label pendidikan. Praktek-praktek kecurangan masih tumbuh subur di belantika
pendidikan nasional. Akibatnya, membentuk pola pikir menyimpang pada generasi
bangsa yang merupakan objek pendidikan, generasi yang cenderung bersifat
pragmatis dan kapitalis dalam memandang setiap problematika hidup. Maka, tidak
heran jika kita sering melihat oknum alumnus pendidikan yang tidak lagi
mengedepankan etika kala berdebat dan menjabat, dan tidak lagi memakai logika
iman saat menyelesaikan suatu urusan.
Kembali pada kurikulum pendidikan nasional, maraknya
pembahasan materi kurikulum 2013 yang dikonsep secara tematis integratif, yakni
satu tema pada satu waktu untuk semua mata pelajaran tentu memberi secercah
harapan. Perombakan besar-besaran pada kruikulum 2013, digadang mampu
menyelesaikan atau paling tidak meminimalisir ‘kebobrokan’ pendidikan nasional.
Adapun perubahan drastis pada kurikulum 2013 adalah waktu belajar ditambah dan
mata pelajaran diintegrasikan. Masalahnya, apakah cukup waktu sosialisasi kurikulum
tersebut untuk seluruh guru di tanah air dengan kemampuannya yang sangat
beragam?
Sekali lagi, penulis sekedar menggaris-bawahi agar apapun
bentuk kebijakan pemerintah kita, sepatutnya memperhatikan sektor riil lainnya
yang memiliki kaitan erat dengan kebijakan tersebut. Jika berbicara pendidikan,
maka guru adalah subjek yang harus dipersiapkan demi suksesi kurikulum
pendidikan nasional. Setelah itu, keterlibatan orang tua dan elemen masyarakat
lainnya, turut memberi andil dalam menanamkan pemahaman kepada peserta didik,
atas kurikulum yang sedang dicanangkan bangsa ini. Harapannya, sinergisitas
akan terjalin dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional demi memajukan
kecerdasan generasi bangsa.
Urgensitas Peranan Guru
Sesuai dengan tema yang diusung pada Hari Guru Nasional 2012
kali ini, yaitu Memacu Profesionalisasi Guru Melalui Peningkatan Kompetensi dan
Penegakan Kode Etik, peningkatan kompetensi guru harus diupayakan dan dijaga
demi profesionalitas dalam bertugas. Dan di tahun 2013 nanti, pemerintah telah
mencanangkan penambahan anggaran pendidikan naik hingga 6,7 persen dari anggaran
pendidikan tahun 2011. Harapannya, kompetensi pelajar Indonesia sebagai peserta
pendidikan nasional meningkat sesuai cita-cita yang ditargetkan dan mampu
bersaing dengan kompetensi pelajar dari negara lain.
Sekedar informasi, kompetensi pelajar Indonesia tercatat
rendah di bawah kompetensi pelajar Asia seperti dari Jepang, Thailand,
Singapura, dan Malaysia. Data dari McKinsey Global Institute “Indonesia Today”
dan sejumlah data rangkuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
menyimpulkan, hanya 5 persen pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi
berpikir analistis, selain itu hanya memiliki kompetensi pada tingkat
mengetahui. Pertanyaannya, sudahkah sinergi antara guru dengan kurikulum yang
dirancang pemerintah? Apa gunanya ‘bongkar-pasang’ kurikulum sementara metode
mengajar guru tidak berubah?
Mestinya, kualitas guru yang sangat beragam dan lokasinya
tersebar hingga pelosok nusantara menjadi bahan diskusi utama pemerintah saat
ini. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat ini sekitar
22,6 persen guru SD berpendidikan sarjana dan sekitar 24 persen guru SMP
berpendidikan sarjana. Artinya, jumlah tersebut sangat tidak relevan dengan
jumlah anak didik yang melimpah di tanah air kita ini. Mengutip data BPS 2011,
usia penduduk berusia 0-9 tahun mencapai 45,93 juta jiwa dan usia 10-19 tahun
mencapai 43,55 juta jiwa. Sungguh mengkhawatirkan, jika jumlah tersebut yang
notabene adalah generasi bangsa tidak mendapatkan pendidikan secara efektif dan
integratif.
Tidak
Sekedar Merubah Kurikulum
Rencana perubahan kurikulum di tahun
2013 tentu memerlukan energi dan biaya yang besar. Data dari komisi X DPR RI
memperkirakan Besarnya anggaran pergantian kurikulum pendidikan
nasional tahun 2013 mencapai Rp.171 miliar. Bahkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) biaya
tersebut rencananya akan ditingkatkan menjadi Rp.179
miliar. Ironinya, negeri kita masih
berkutat dengan hutang luar negeri, apakah tidak ada jalan lain untuk
menyelesaikan ‘kisruh’ sistem pendidikan nasional negeri ini? Tidakkah
pemborosan namanya dalam jangka waktu yang pendek telah mengeluarkan miliaran rupiah hanya demi
gonta-ganti kurikulum?
Maka sudah saatnya inovasi untuk pendidikan nasional digalang
dan terkonsep dengan matang. Sehingga arah pendidikan nasional kita semakin
jelas dan mampu menjamin kaderisasi anak bangsa yang dapat dibanggakan.
Pembaharuan di setiap perangkat pendidikan menjadi hal utama yang harus
diselesaikan demi mewujudkan “Pendidikan karakter untuk membangun peradaban
bangsa”. Jangan malu mengadopsi sistem pendidikan yang mengedepankan
nilai-nilai logika iman, misalnya sistem pendidikan religious yang integratif.
Sistem pendidikan harus dikembalikan pada tujuan
diselenggarakannya sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 yang berbunyi: "Bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab"
Kesimpulannya, kurikulum pendidikan yang tidak relevan dan
tidak memiliki standarisasi yang jelas hanya menjadikan kita sebagai warga
pendidikan nasional senantiasa terjebak dalam kebingungan. Konspirasi politik
dalam dunia pendidikan hanya menjebak pola pikir kita dalam tataran birokrat
semata, sehingga sedapat mungkin hal tersebut dihindarkan demi memurnikan
kembali tujuan pendidikan nasional. Perubahan kurikulum yang sedang
dicanangkan, harus memiliki konsep yang lebih mumpuni dan benar-benar dapat dikuasai
oleh setiap guru di seluruh pelosok negeri ini.
Penulis mengajak kita semua baik murid, guru, orang tua,
stake-holder pemerintah dan jajarannya untuk bersama membangun dunia pendidikan
nasional demi melahirkan generasi bangsa yang memiliki ketajaman logika
berlandaskan iman. Karena kita semua mengatahui bahwa pendidikan tidak hanya
cukup diukur dari nilai akademis saja, tanpa melibatkan aspek spiritual dan
kecakapan hidupnya. Ingat, kemajuan pendidikan nasional merupakan proyek mulia
yang harus dikerjakan secara kolektif oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.
v Penulis adalah Guru SMP Islam Integral Luqman Al-Hakim
Batam dan
dosen
STKIP Hidayatullah Batam.