iqrozen.blogspot.com | Pada
16 Desember 1959 yang lalu, seluruh ibu di Indonesia mendapat kado spesial
dengan ditetapkannya 22 Desember sebagai Hari Ibu atau dalam bahasa
internasional disebut Mother’s Day. Ketetapan yang dikeluarkan pemerintah
melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tersebut, merupakan penghargaan
atas keberanian dan pengorbanan kaum perempuan terkhusus para ibu, yang telah
banyak mendukung kaum laki-laki dalam berjuang merebut kemerdekaan bangsa
Indonesia tercinta ini. Mereka juga berjuang demi meningkatkan harkat dan
martabat perempuan Indonesia untuk berpendidikan dan berserikat di bawah
bendera Ibu Pertiwi.
Dan
momentum Hari Ibu Nasional ke-84 yang baru saja kita peringati beberapa hari
yang lalu, kita dituntut kesadarannya untuk mengapresiasi Mother’s Day
jika masih ingin disebut anak yang berbakti. Bukan berarti, hanya hari ini kita
berbakti kepada ibu sementara di hari-hari lain mendurhakainya. Spirit
peringatan Mother’s Day ini hanya bentuk deklarasi dalam diri, betapa mulianya
jasa ibu tanpa mendiskriminasikan hari-hari yang lain. Harapannya, seremonial Mother’s
Day yang diperingati secara nasional ini, setidaknya dapat mengkordinir dan
menyatukan semangat juang seluruh ibu di bumi pertiwi ini. Lalu, mengapa hanya ada
Hari Ibu? Kapan harinya ayah?
Ibu
adalah sosok yang begitu dekat dengan setiap anak manusia dan kemuliaannya
lebih tinggi 27 derajat bila dibanding ayah. Setelah kurang lebih sembilan
bulan sepuluh hari mengandung janin dalam kepayahan, ibu bertaruh nyawa demi
melahirkan segumpal daging bernyawa yang disebut bayi. Dan dengan kasih sayang
yang tiada terhingga, ibu merawat dan mendidik bayi tersebut agar berani hidup
di dunia fana ini. Ironinya, teramat banyak alumni bayi tersebut yang kemudian
mendzolimi orang yang telah mengandung dan melahirkannya, bahkan merawatnya
hingga dewasa. Inikah kado untuk ibu yang telah mengandung, melahirkan dan
membesarkan anak-anaknya?
Vitalitas
peran ibu dapat dilihat dari hasil Kongres Perempuan Indonesia yang ke-2 pada
tahun 1935 di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan
Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia
sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru,
yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Kenyataannya,
pertikaian dan kriminalitas yang marak di hampir seantero nusantara telah
mengindikasikan tipisnya rasa kebangsaan dalam diri generasi negeri ini. Dengan
kata lain, banyak ibu yang sukses dalam berkarir namun gagal mencetak generasi
bangsa yang berakhlakul karimah.
Harus
disepakati bahwa peranan ibu sangat urgent dalam mengkader generasi
unggul calon pemimpin bangsa. Dapat dikatakan, untuk mengetahui karakter
kepemimpinan bangsa 50 tahun yang akan datang, maka lihatlah karakter ibu yang
sekarang ini sedang mendidik putra-putrinya. Sayangnya, dewasa ini kasus anak
semakin krusial dan terus meningkat jumlahnya setiap tahun, hal ini menjadi bukti
belum berfungsinya peranan ibu secara maksimal.
Data
dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan kasus kekerasan anak
pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.552, kemudian meningkat menjadi 2.335 kasus
di tahun 2010 dan 2.508 kasus selama tahun 2011. Dan data terbaru yang diambil
pada Januari-Agustus 2012, KPAI telah mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan
terhadap anak di Indonesia. Data tersebut adalah data kasus anak yang ada di
meja KPAI, sangat dimungkinkan masih banyak kasus anak lainnya yang belum
ditangani karena tidak dilaporkan atau sengaja disembunyikan. Alhasil, sekarang
ini banyak putra-putri bangsa yang pertumbuhannya tidak terkontrol dan karakter
pragmatisme yang masuk ke dalam mindset–nya menjadikan hidup tanpa
orientasi. Apakah generasi ini yang diharapkan Ibu Pertiwi?
Sadarlah
wahai orang tua yang telah diberi amanah berupa anak, janganlah menyakiti
ataupun menganiaya putra-putri bangsa yang merupakan generasi calon-calon
pemimpin di negeri ini. Nasehat bijak dan berharga dari seorang sastrawan yang
mengatakan, “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra kerinduan diri sang
hidup. Melaluimu mereka ada, namun bukan darimu. Meskipun bersamamu, mereka
bukan milikmu.” (Khalil Gibran).
Arus
globalisasi yang berkembang pesat dengan berbagai perkembangan teknologinya,
semakin melunturkan apresiasi anak terhadap peranan sang ibu. Lihatlah dunia
anak sekarang yang dikelilingi game online maupun ofline, ketika pulang
sekolah bukan ibu yang dicari akan tetapi warnet dan sejenisnya yang menjadi
lokasi favorit tujuan bermain anak-anak tersebut. Sementara kakaknya yang duduk
ditingkat SMP, SMA dan Mahasiswa sedang sibuk dengan pergaulan bebas maupun
tawuran pelajarnya. Dan yang lebih mengerikan lagi, sebagian oknum seniornya
yang telah duduk di kursi pemerintahan, tanpa belas kasih merampok hak-hak
rakyat dengan gerakan korupsi berjamaah, yang mana sebagian besar rakyat
Indonesia adalah kaum ibu. Inikah kado untuk ibu pertiwi?
Selain
itu, tingkat kekerasan pada perempuan terus meningkat tiap tahunnya. Tindak
Kekerasan dengan beragam motif diantaranya: kekerasan seksual, kekerasan dalam
rumah tangga, kekerasan migran (TKW), trafficking perempuan dan banyak kasus
lainnya. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan
yang menyebutkan sekitar 119.107 kasus kekerasan terjadi pada
perempuan selama tahun 2011. Angka tersebut meningkat 13,32 persen dari tahun
2010 yang mencatat 105.103 tindak kekerasan pada perempuan. Inilah sejumlah data
yang muncul ke permukaan dan sempat tercatat, bagaimana dengan jumlah yang tidak tercatat?
Kasus
kekerasan dan eksploitasi pada perempuan merupakan fenomena gunung es. Artinya,
kasus yang terlihat dan tercatat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan di
lapangan. Dengan kata lain, masih banyak angka korban kekerasan dan pelecehan
perempuan yang belum diketahui di bumi pertiwi ini. Jika masih hidup, bagaimana
kiranya perasaan Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo
Fatimah dan pahlawan wanita dari Aceh lainnya melihat kondisi kaumnya saat ini?
Inikah penghargaan kepada R.A. Kartini, Malahayati, Dewi Sartika, Rohana Kudus,
Laswi, Jo Paramitha, Siti Aisyah We Tenriolle, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Ny.
Sunarjo Mangunpuspito dan ibu-ibu hebat lainnya di negara ini yang telah turut
serta berjuang demi menjunjung harkat dan martabat bangsa?
Jangan
heran, jika sekarang marak gerakan kesetaraan gender yang dikampanyekan kaum feminisme
yang merupakan antek-antek kaum Orientalis-Barat, sebagai konsekuensi perasaan
tertindas kaum hawa yang merasa peranannya tidak ditempatkan pada porsi dan
fungsinya. Gerakan keseteraan gender tersebut sebagai upaya membebaskan wanita
dari aturan hidup dan takdirnya menjadi ibu. Doktrin kesetaraan gender yang
diupayakan semata-mata demi mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua
bidang kehidupan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin dapat disamakan antara
laki-laki dan perempuan dalam segala hal? Bukankah ini namanya melawan kodrat
penciptaannya?
Sekarang
ini, paham atheisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme semakin
mendominasi kehidupan masyarakat dunia termasuk Indonesia. Maka kehadiran
seorang ibu dalam mendampingi pertumbuhan anak-anaknya sangat diperlukan. Terlebih-lebih,
perkembangan dunia modern yang juga melanda dunia anak-anak sangat menuntut kehadiran
ibu untuk senantiasa memberi pengarahan sekaligus membentengi budaya
putra-putrinya dari serangan westernisasi yang dampak negatifnya telah
menciderai sendi-sendi luhur kepribadian bangsa Indonesia.
Karakter
Bangsa di Tangan Ibu
Kembali
pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 yang menetapkan fungsi utama
Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa. Artinya, ibu sebagai the first
teacher bagi kehidupan manusia yang pertama mendesain dan menanamkan
karakter dalam diri generasi penerus suatu bangsa. Begitu besar kontribusi ibu
dalam mempersiapkan masa depan suatu bangsa, sebagaimana pernah disampaikan
oleh seorang revolusioner dunia sepanjang masa, nabi Muhammad SAW mengatakan,
“Wanita itu tiang negara, dan jika baik wanitanya maka jayalah negara tersebut.
Sebaliknya jika buruk wanitanya maka hancurlah negara tersebut.”
Lalu,
mengapa kita masih sering menyaksikan dan mendengar berita pelecehan wanita?
Memprihatinkan lagi, pelecehan dan eksploitasi perempuan dilakukan sebagai
bisnis dan secara terang-terangan. Lihat kasus perkosaan di angkutan umum
(angkot) yang terjadi di beberapa daerah, atau kasus jual-beli wanita sebagai
pemenuhan birahi para hidung belang yang masih marak terjadi di nusantara. Dimana
peran negara dalam menyelamatkan wanita Indonesia? Apa yang mesti dilakukan
ketika perempuan Indonesia dilecehkan dan diperkosa di negara lain? Inikah
bukti NKRI sedang ‘terkoyak’ seiring banyak kaum wanitanya yang teraniaya?
Peranan
ibu dalam mewarnai karakter pribadi anak manusia sangat dominan menuju terbentuknya
moral masyarakat di suatu negara. Pentingnya pendidikan anak di waktu kecil merupakan
sumbangsih utama bagi terwujudnya masyarakat berperadaban mulia. Sifat ibu yang
lemah lembut, penuh cinta dan perhatian merupakan sifat yang sangat cocok untuk
mendidik dan mengasuh anak. Peran ibu juga mendukung dan memotivasi suami dalam
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Namun, mengapa banyak ibu yang
meninggalkan anak-anaknya demi mengejar dolar? Kemana peran suami yang
semestinya menafkahi keluarga?
Bila
mengutip hadist Nabi Muhammâd shallallâh
‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Maka ibu dan ayah-nyalah yang berperan mengubah anak itu
menjadi seorang Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (H.R. Bukhari). Logikanya,
sangat dituntut adanya kerja sama yang baik antara ibu (sebagai istri) dan ayah
(sebagai suami) dalam mendidik generasi bangsa agar menjadi manusia seutuhnya.
Ibu yang seharusnya menanamkan akhlak mulia secara langsung pada anak-anaknya,
bukan sebaliknya anak dititipkan pada pembantu ataupun baby sitter yang
belum jelas karakternya. Dan ayah semaksimal mungkin bekerja mencari nafkah sebagai
tanggung jawab utamanya demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Kesimpulannya, mengingat
begitu fundamentalnya peranan ibu dalam pembentukan karakter bangsa ini, seruan
penulis kepada seluruh wanita di nusantara baik yang calon maupun yang telah
menjadi ibu, untuk segera merekonstruksi mental dan karakter pribadinya dengan
kompetensi keilmuan dan keimanan yang mumpuni. Sehingga, keutamaan menjadi ibu
bangsa yang merupakan tumpuan dasar lahirnya kemuliaan masyarakat Indonesia
dapat terwujud di bumi pertiwi. Yakinlah, generasi-generasi hebat bangsa ini yang
cerdas, jujur, adil dan bijaksana adalah kado terindah yang dirindukan Ibu
Pertiwi selama ini.