Metro TV, dari Jilbab Sandria Malakiano hingga Rohis sebagai Tempat Rekrutmen Teroris
oleh: Muhammad Rihan Handaulah
Metro-TV pada tanggal 5 September 2012 membuat pemberitaan yang gegabah dan jauh dari profesionalitas serta kode etik jurnalistik.
Dengan gegabah dikatakan bahwa pola rekrutmen generasi baru teroris adalah melalui ekstrakurikuler di masjid sekolah. Lalu banyak tanggapan keras dari masyarakat melalui twitter atau SMS hingga mereka pun merilis berita melalui websitenya (bukan tayangan TV) yang menyangkal bahwa mereka menuduh Rohis sebagai sarang pembibitan terorisme. Serta dikatakan ini adalah hasil penelitian dari profesor UIN bernama Bambang Pranowo. Sebuah bantahan yang sekedar silat lidah dan tidak jujur. Apalagi ekstrakurikuler di masjid sekolah selain Rohis? Suatu tuduhan yang sembrono dan tidak berdasar sama sekali.
Tidak jelas bagaimana mereka bisa sampai kepada kesimpulan seperti itu. Terjadi di mana kasusnya, kapan, siapa korbannya? Dan jika benar itu terjadi maka generalisasi pun belum tentu bisa langsung dilakukan. Perlu dilihat dulu benarkah ekstrakurikuler itu yang melakukan atau justru ada ekskul yg disusupi? Jika ini hasil penelitian maka di mana penelitiannya, bagaimana metodologinya, serta apa saja hasil penelitian tersebut? Dan masih banyak lagi jika kita mau telaah.
Dengan pemberitaan macam itu, berapa banyak etika jurnalistik yang dilanggar? Mulai dari pemberitaan yang tidak cover both side, mengambil data penelitian yang tidak jelas asal-usulnya, sampai tidak melakukan klarifikasi atas data yang diterima? Hinggai terakhir mereka berbohong dengan tidak mengakui perkataan mereka sendiri (bersilat lidah).
Hanya ada dua kemungkinan kejiadian ini terjadi. Pertama, Metro TV tidak berkompeten untuk menyandang peran sebagai Jurnalis. Mereka tidak bisa memikul amanah dan tanggung jawab yang luhur seorang jurnalis, mereka impoten. Kemungkinan kedua mereka dengan sengaja (deliberately) mengeluarkan berita ini karena tendensi tertentu. Jika asumsinya Metro TV diisi orang-orang kompeten maka mereka pasti mengerti etika profesionalisme jurnalistik lalu mengapa berita yang invalid sepert ini bisa sampai keluar?
Metro TV alih-alih mencerdaskan bangsa justru membuat ketegangan yang menyita energi kita. Dan kejadian ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat Metro TV baru berdiri. Saat itu ada presenter yang sangat saya sukai yaitu Mba Sandrina Malakiano. Tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa beliau adalah yang terbaik di generasinya. Sampai suatu saat entah kemana beliau tidak pernah terlihat lagi di layar kaca hingga kemudian saya menemukan tulisan beliau (jika tak salah ini adalah status facebook-nya beliau) yang beredar di milis alumni SMAN 3 Bandung pada akhir tahun 2008 :
-------------------
Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi dibelakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa ? sebagaimana Islam mengajarkan ? di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan bolehjadi tersembunyi kebaikan.
Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakaihijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itusaya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat sayabekerja, Metro TV.
Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankanuntuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudahmengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelahberbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yangmengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya ditingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan sayaberjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orangdalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasapintu memang sudah ditutup.
Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yangtinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta,akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama prosesnegosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperolehpenghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusiMetro TV.
Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat adasinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri.Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti sayabuat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter danpresenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudahmenggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar,ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRIPusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilanganpekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.
Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa "dunia tak selebar daun Metro TV', saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.
HIKMAH BERJILBAB
Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumahsakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di MetroTV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari dirumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawatinap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari diruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?
Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.
Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para profesor di acara "Ensiklopedi Al Quran" selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin atraktif,dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas.
Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik danmendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan,bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentangkesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilihkenyamanan hidup.
Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.
Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam berislam.
Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan MetroTV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ?seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua ? di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.
Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusansaya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satukomentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, "Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar."
Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang ditengah kemajemukan.
Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya?
Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperolehhak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?
Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme ?mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya ? ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal.
-----------------------------------------
Catatan: karena saya belum menemukan sumber primernya maka melalui tulisan ini saya meminta secara terbuka tanggapan atau bantahan dari beliau atau mungkin mas Eep jika ternyata tulisan ini bukan dari Mba Sandrina Malakiano.
Nah dua dari kejadian ini ditambah informasi dari twitter-nya Mas Edya Effendi @eae18 (mantan redaktur MI ) tentang bias SARA di tubuh pimpinan MetroTV maka makin berpilinlah apa-apa yang menjadi kekhawatiran saya tentang MetroTV. Ada apa dengan MetroTV? Semacam mengidap penyakit Islamophobia kah? Ataukah sudah menjadi penghamba kapital, menjadi garda depan penyebar teror bagi siapa saja yang melintangi kepentingan si empunya modal.
Sama saja tidak di Amriki tidak di Indonesia, Prof Noam Chomsky, pakal linguistik dari MIT telah mengingatkan kita akan peran media yang berpilin dengan kepentingan politik, militer, dan ekonomi:
"Any dictator would admire the uniformity and obedience of the U.S. media." http://www.brainyquote.com/quotes/authors/n/noam_chomsky.html#xzQfg4tThX7ygKGz.99
serta menjadikan argumen sebagai media teror bagi lawan kepentingannya:
"You never need an argument against the use of violence, you need an argument for it" http://www.brainyquote.com/quotes/authors/n/noam_chomsky.html#xzQfg4tThX7ygKGz.99
Sebuah pelajaran penting tentang media yang sama seperti bidang-bidang lainnya; keuangan, militer, industri, politik yang hanya sebuah senjata. Semua bergantung pada siapa di belakangnya. Jangan jadi culun, cupu, planga-plongo dan mbebek pada media. Kita tetap butuh media tapi bukan media yang menentukan isi kepala kita. Gali informasi dari banyak sumber. Gunakan akal sehat, selalu kritis, dengan timbanglah dengan value dan prinsip-prinsip yang bersemayam di diri kita.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis di blog-nya http://rihandaulah.wordpress.com/
Penulis adalah mahasiswa yang sedang tinggal di Belanda serta pernah terlibat langsung dalam kegiatan kerohanian Islam (Rohis) di Kota Bandung antara tahun 2001-2012
Artikel di ambil dari :
oleh: Muhammad Rihan Handaulah
Metro-TV pada tanggal 5 September 2012 membuat pemberitaan yang gegabah dan jauh dari profesionalitas serta kode etik jurnalistik.
Dengan gegabah dikatakan bahwa pola rekrutmen generasi baru teroris adalah melalui ekstrakurikuler di masjid sekolah. Lalu banyak tanggapan keras dari masyarakat melalui twitter atau SMS hingga mereka pun merilis berita melalui websitenya (bukan tayangan TV) yang menyangkal bahwa mereka menuduh Rohis sebagai sarang pembibitan terorisme. Serta dikatakan ini adalah hasil penelitian dari profesor UIN bernama Bambang Pranowo. Sebuah bantahan yang sekedar silat lidah dan tidak jujur. Apalagi ekstrakurikuler di masjid sekolah selain Rohis? Suatu tuduhan yang sembrono dan tidak berdasar sama sekali.
Tidak jelas bagaimana mereka bisa sampai kepada kesimpulan seperti itu. Terjadi di mana kasusnya, kapan, siapa korbannya? Dan jika benar itu terjadi maka generalisasi pun belum tentu bisa langsung dilakukan. Perlu dilihat dulu benarkah ekstrakurikuler itu yang melakukan atau justru ada ekskul yg disusupi? Jika ini hasil penelitian maka di mana penelitiannya, bagaimana metodologinya, serta apa saja hasil penelitian tersebut? Dan masih banyak lagi jika kita mau telaah.
Dengan pemberitaan macam itu, berapa banyak etika jurnalistik yang dilanggar? Mulai dari pemberitaan yang tidak cover both side, mengambil data penelitian yang tidak jelas asal-usulnya, sampai tidak melakukan klarifikasi atas data yang diterima? Hinggai terakhir mereka berbohong dengan tidak mengakui perkataan mereka sendiri (bersilat lidah).
Hanya ada dua kemungkinan kejiadian ini terjadi. Pertama, Metro TV tidak berkompeten untuk menyandang peran sebagai Jurnalis. Mereka tidak bisa memikul amanah dan tanggung jawab yang luhur seorang jurnalis, mereka impoten. Kemungkinan kedua mereka dengan sengaja (deliberately) mengeluarkan berita ini karena tendensi tertentu. Jika asumsinya Metro TV diisi orang-orang kompeten maka mereka pasti mengerti etika profesionalisme jurnalistik lalu mengapa berita yang invalid sepert ini bisa sampai keluar?
Metro TV alih-alih mencerdaskan bangsa justru membuat ketegangan yang menyita energi kita. Dan kejadian ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat Metro TV baru berdiri. Saat itu ada presenter yang sangat saya sukai yaitu Mba Sandrina Malakiano. Tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa beliau adalah yang terbaik di generasinya. Sampai suatu saat entah kemana beliau tidak pernah terlihat lagi di layar kaca hingga kemudian saya menemukan tulisan beliau (jika tak salah ini adalah status facebook-nya beliau) yang beredar di milis alumni SMAN 3 Bandung pada akhir tahun 2008 :
-------------------
Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi dibelakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa ? sebagaimana Islam mengajarkan ? di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan bolehjadi tersembunyi kebaikan.
Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakaihijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itusaya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat sayabekerja, Metro TV.
Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankanuntuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudahmengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelahberbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yangmengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya ditingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan sayaberjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orangdalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasapintu memang sudah ditutup.
Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yangtinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta,akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama prosesnegosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperolehpenghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusiMetro TV.
Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat adasinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri.Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti sayabuat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter danpresenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudahmenggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar,ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRIPusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilanganpekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.
Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa "dunia tak selebar daun Metro TV', saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.
HIKMAH BERJILBAB
Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumahsakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di MetroTV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari dirumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawatinap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari diruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?
Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.
Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para profesor di acara "Ensiklopedi Al Quran" selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin atraktif,dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas.
Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik danmendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan,bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentangkesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilihkenyamanan hidup.
Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.
Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam berislam.
Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan MetroTV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ?seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua ? di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.
Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusansaya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satukomentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, "Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar."
Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang ditengah kemajemukan.
Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya?
Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperolehhak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?
Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme ?mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya ? ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal.
-----------------------------------------
Catatan: karena saya belum menemukan sumber primernya maka melalui tulisan ini saya meminta secara terbuka tanggapan atau bantahan dari beliau atau mungkin mas Eep jika ternyata tulisan ini bukan dari Mba Sandrina Malakiano.
Nah dua dari kejadian ini ditambah informasi dari twitter-nya Mas Edya Effendi @eae18 (mantan redaktur MI ) tentang bias SARA di tubuh pimpinan MetroTV maka makin berpilinlah apa-apa yang menjadi kekhawatiran saya tentang MetroTV. Ada apa dengan MetroTV? Semacam mengidap penyakit Islamophobia kah? Ataukah sudah menjadi penghamba kapital, menjadi garda depan penyebar teror bagi siapa saja yang melintangi kepentingan si empunya modal.
Sama saja tidak di Amriki tidak di Indonesia, Prof Noam Chomsky, pakal linguistik dari MIT telah mengingatkan kita akan peran media yang berpilin dengan kepentingan politik, militer, dan ekonomi:
"Any dictator would admire the uniformity and obedience of the U.S. media." http://www.brainyquote.com/quotes/authors/n/noam_chomsky.html#xzQfg4tThX7ygKGz.99
serta menjadikan argumen sebagai media teror bagi lawan kepentingannya:
"You never need an argument against the use of violence, you need an argument for it" http://www.brainyquote.com/quotes/authors/n/noam_chomsky.html#xzQfg4tThX7ygKGz.99
Sebuah pelajaran penting tentang media yang sama seperti bidang-bidang lainnya; keuangan, militer, industri, politik yang hanya sebuah senjata. Semua bergantung pada siapa di belakangnya. Jangan jadi culun, cupu, planga-plongo dan mbebek pada media. Kita tetap butuh media tapi bukan media yang menentukan isi kepala kita. Gali informasi dari banyak sumber. Gunakan akal sehat, selalu kritis, dengan timbanglah dengan value dan prinsip-prinsip yang bersemayam di diri kita.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis di blog-nya http://rihandaulah.wordpress.com/
Penulis adalah mahasiswa yang sedang tinggal di Belanda serta pernah terlibat langsung dalam kegiatan kerohanian Islam (Rohis) di Kota Bandung antara tahun 2001-2012
Artikel di ambil dari :
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=477311215626593&set=at.215180841839633.60519.212416015449449.1123581228.100000467065737.100000212705343.100003725487553&type=1&relevant_count=1&ref=nf