Tiada Teroris Dibalik Aktivis

iqrozen.blogspot.com | Fenomena kasus terorisme akhir-akhir ini menjadi berita yang booming di setiap layar dan kolom-kolom berita baik itu di media eletronik maupun di media cetak. Menariknya, setiap ada kejadian teror bom dan lainnya selalu diidentikan dengan ideologi para mujahid sebagai pelaku teror tersebut. Sampai-sampai pesantren yang selama ini dikenal sebagai wadah pengkaderan generasi muda Islam agar bermoral dan bertaqwa, dituding sebagai markas pencetak bibit-bibit terorisme generasi modern sekarang ini.
Stigma tersebut tentu membuat banyak masyarakat utamanya para orang tua menjadi khawatir terhadap anak-anaknya yang di pesantren, pondok pesantren yang sejatinya saat ini menjadi tempat favorit para orang tua untuk menyelamatkan moral anak-anaknya, sebaliknya dicurigai sebagai wadah yang erat keterkaitannya dengan gerakan terorisme. Para remaja yang aktif dalam pengajian di sekolahnya atau di masjid-masjid, belakangan ini mendapat tudingan sebagai generasi teroris gaya baru. Pertanyaannya, sekarang ini siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban terkait dengan pembinaan remaja demi lahirnya generasi mulia di negeri kita?
Semua pihak semestinya bijak dalam menyikapi kasus terorisme yang silih berganti terjadi, perilaku terorisme harus dijelaskan kepada masyarakat dengan validasi data yang sejelas-jelasnya, bukan untuk media mendiskriminasikan generasi aktivis yang sedang mengasah ilmu dan keimanannya pada Allah SWT. Apalagi memvonis remaja Islam yang sedang mulai semangat dan rajin dalam mengkaji ilmu agamanya.
Kekhawatiran itu tentulah sangat beralasan. Pasalnya, kasus terorisme yang terjadi dimana-mana sering dikait-kaitkan sebagai gerakan Islam. Dan akhir-akhir ini diisukan berkembangnya terorisme pada organisasi anak-anak muda yang ada di sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan masjid-masjid yang biasa dikenal Rohis (Rohani Islam). Para aktivis muda tersebut kini dicurigai sebagai gerakan yang melahirkan pengikut teroris. Dimana, anak-anak muda Islam tersebut sebagian besar telah teruji memiliki integritas dakwah dan berakhlakul kharimah.
Keprihatinan mendasar karena fitnah teroris itu sendiri dilakukan oleh segelintir manusia yang kesehariannya berbuat teror. Mereka senantiasa menyebarkan berita bohong dan berlebihan, senantiasa berdebat dalam membahas kemaslahatan ummat, menghina sebagian ummat Islam meski mereka sendiri mengaku Islam. Pertanyaannya, siapa mereka? Jawabannya, siapa lagi jika bukan antek-antek liberal sekulerisme yang benci dan anti dengan Islam. Golongan ini sudah tumbuh subur dan berkembang di seluruh penjuru dunia termasuk di negara berpenduduk Islam terbesar dunia, yakni Indonesia.

Bahan Renungan
Apa dampak berkembangnya perspektif bahwa teroris lahir dari aktivitas pemuda Islam yang gemar mengaji dan berjamaah di masjid? Sudah barang tentu para orang tua bukannya senang kalau anak mereka meminta izin untuk ikut kajian keislaman, baik itu di surau, mushallah, masjid dan kampus. Sebaliknya, mereka akan khawatir dan was-was hingga akhirnya tidak memberi izin anak-anak mereka untuk ikut mengaji. Bisa dibilang tamatlah harapan kita untuk melihat lahirnya generasi muda islam yang intelektual religious, yakni generasi yang insya Allah membawa perubahan pada bangsa ini menjadi lebih baik dan mulia.
Sudah sangat jelas dan gamblang jika perilaku teroris adalah bagian lain dan tidak ada kaitannya dengan nilai Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Syari’at Islam tidak pernah mengajarkan kepada penganutnya untuk melakukan teror kejahatan yang meresahkan ummat, ajaran Islam juga melarang perdebatan dan pertikaian dalam hal apapun, apalagi melakukan kebiadaban dengan membunuh makhluk yang tidak berdosa seperti yang dilakukan Yahudi laknatullah.
Allah tegas memperingatkan hal ini di dalam Al-Qur’an, yang artinya : “dan barang siapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An-Nisa : 93 ).
Hikmah dari sahabat Ali Bin Abi Thalib yang dikisahkan dalam sebuah peperangan, ketika sedang berlangsung dia berhadapan dengan seorang musuh dan terjadi pertarungan yang sangat panjang. Saat Ali Bin Abi Thalib sudah berada dalam posisi yang hampir menang, karena musuh sudah dalam kondisi terjepit dan tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin cukup dengan sekali ayunan pedang maka sang musuh itu pasti tewas. Tetapi apa, sebelum Ali Bin Abi Thalib melakukan itu semua ia mendapat serangan ludah dari sang musuh yang tepat mengenai wajah Ali Bin Abi Thalib.
Sungguh kejadian luar biasa hingga sang musuh terkejut tak percaya, karena Ali Bin Abi Thalib seketika menjatuhkan pedangnya dan meninggalkanya. Sang musuh yang sudah terancam nyawanya tersebut berdiri dan mengejar Ali Bin Abi Thalib dan berkata, “Kenapa engkau meninggalkanku dan tidak jadi membunuhku?” Jawab Ali Bin Abi Thalib, “Karena ludahmu aku tidak jadi membunuhmu, aku takut kepada Allah jangan sampai aku membunuhmu bukan karena Fisabilillah, tetapi karena rasa marah atas ludah yang mengenai wajahku.
Artinya, kisah tersebut memberikan pencerahan bahwa seseorang yang mengatasnamakan diri sebagai mujahid tidak semudah berucap di bibir. Mujahid dalam Islam bukanlah sekedar label semata, tetapi menunjukkan karakter dalam semua lini kehidupan seseorang. Lucu namun menjengkelkan jika semua yang berbau teroris diasumsikan sebagai gerakan mujahid, sebaliknya koruptor dan bandar narkoba mendapat vasilitas advokat dalam menjalani proses hukumnya. Apa kata dunia?
Ingat juga firman Allah SWT yang artinya : “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan mausia semuanya.”(QS. Al-Maidah : 32).

Peran Ulama dan Stake Holder
Tokoh agama sebagai kaum cendikia diharapkan mampu menyampaikan Khalamullah kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga seyogyanya mampu melakukan social-control, memberikan penjelasan yang arif kepada aparat kepolisian dan pejabat pemerintah, bahkan lebih dari itu harus mampu memperoleh data yang akurat dari tersangka. Sebelum berbicara di depan khalayak umum dan ikut-ikutan menjustifikasikan aksi teroris tersebut.
Harian Republika yang memuat tulisan KH. A. Hasyim Muzadi, dengan tema “Gemar Menjual Konflik” meskipun apa yang beliau ingin sampaikan tidak begitu persis dengan apa yang ada dalam tulisan ini, namun paling tidak semakin memperkuat pernyataan bahwa perilaku terorisme harus diatasi dengan tuntas. Terorisme bukanlah sebuah rekayasa yang hanya untuk mengalihkan isu dari situasi politik yang sedang bergolak. Terorisme tidak untuk diperjual belikan yang kemudian menjadi sarana untuk menyudutkan salah satu kelompok atau golongan. Terorisme adalah musuh Islam dan juga musuh bersama semua ummat manusia.
Setiap ulama mesti sepakat jika teroris dilarang agama dan melanggar hukum Allah, sepatutnya tiada lagi perbedaan statement walau mereka berasal dari organisasi atau golongan yang berbeda. Tak perlu memojokkan kelompok lain atau mendiskriminasikkannya sebagai gerakan “garis keras” dalam berdakwah. Jika masih berbendara Islam yang benar, maka insya Allah tiada pesantren di dunia ini yang mendoktrin santrinya menjadi teroris. Dengan demikian masyarakat tidak lagi merasa ragu untuk menitipkan putra-putrinya di pesantren.
Sementara itu, pemerintah melalui densus 88 mesti lebih sigap dan cermat dalam menangani kasus terorisme. Bukan karena mengejar target proyek kenaikan jabatan atau sekedar unjuk kebolehan yang ujungnya salah tangkap, penanganan kasus teroris harus tuntas hingga ke akar-akarnya sehingga terputus mata rantai pengkaderan teroris di negeri ini. Jangan melihat teroris dari seragam atau aksesoris yang mungkin saja itu hanya rekayasa, karena rakyat semakin cerdas dan muak jika hanya menyaksikan bualan simulasi pemberantasan terorisme di muka bumi.
Tentu rakyat bertanya-tanya, mengapa kasus terorisme tak kunjung usai? Sementara alokasi dana negara tentu tidak sedikit untuk proyek densus 88 tersebut. Mengapa juga isu teror muncul ketika media sedang menyoroti kasus kriminal para stake holder negeri ini? Sudah saatnya bongkar semua konspirasi bobrok jika tidak ingin terjadi perpecahan ummat di negara tercinta ini.
Sungguh rakyat Indonesia sangat merindukan kedamaian dalam kebersamaan sebagai bangsa yang mayoritas berpenduduk muslim. Lahirnya generasi yang cerdas dan bertqwa menjadi obat penawar krisis moral bangsa yang kian memuncak. Oleh karena itu, sudah saatnya rambu-rambu kehidupan yang telah Allah tuangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi rujukan bersama dalam menyelesaikan problematika ummat Indonesia.

*Penulis adalah pengurus pusat Syabab (Pemuda) Hidayatullah