Mencari Hakikat Makna Fitri

IQROZEN | Perjalananku di Hari yang Fitri. Fitri adalah kata yang sering dimaknai suci atau berarti kembali pada fitrah. Hal ini bertolak belakang dengan pengamatanku selama merayakan hari raya Idul Fitri 1430 H di beberapa tempat family yang aku kunjungi. Baca juga artikel sebelumnya tentang Hikmah The Power of Ramadhan.

Berawal pada malam takbir, malam yang meriah sebagai tanda penutup bulan Ramadhan. Diwarnai gema takbir berkumandang dimana – mana, pawai kendaraan yang terus mengagungkan asma Allah, pesta kembang api turut memeriahkan malam, konser – konser musik bertajuk kemenangan dan masih banyak lagi bentuk – bentuk acara lainnya.

Namun aku tertegun saat berkunjung ke beberapa masjid yang nampak lengang, hanya terdapat beberapa orang setengah baya yang aku prediksi adalah amil zakat fitrah, ditambah beberapa anak kecil yang terus ceria mengumandangkan takbir meski dengan lafaz ala kadarnya. Aku terus coba mengamati pengunjung masjid hingga waktu larut malam, hampir disemua masjid keadaannya sama, hanya ada beberapa orang yang datang sambil membawa zakat kemudian bergegas pergi lagi. Mungkin sebagian besar masyarakat telah menitipkan zakat fitrahnya pada family atau tetangga sekitar, sehingga mereka tidak perlu berbondong – bondong ke masjid lagi.

Pertanyaanku, mengapa masjid itu lengang?meski ada beberapa masjid yang juga ramai dengan kegiatan penutup bulan Ramadhan, dan coba lihatlah acara konser bertajuk kemenangan dipadati manusia, lihatlah jalanan yang diramaikan pawai tanpa mengindahkan hijab antara ichwan dan achwat, pesta kembang api yang sudah tentu membakar dana tidak sedikit dan hal lain yang perlu kita evaluasi bersama terkait perayaan malam Idul Fitri, inilah potret kebudayaan negeri yang perlu segera kita benahi secara menyeluruh dengan bersama – sama bila ingin menuju peradaban Islami.

Dan ketika fajar menyongsong hari, masih saja lengang masjidku tercinta. Adzan shubuh bersahutan, seharusnya sebagai pertanda umat islam berbondong – bondong melaksanakan kewajibannya sholat shubuh berjamaah di masjid. Tetapi kenyataannya adalah masjid itu mlompong, hanya beberapa orang yang lagi – lagi telah berumur senja yang sudi bergegas ke Baitullah. Kebanyakan masyarakat enggan ke masjid mungkin karena memilih sholat di rumah atau mungkin sibuk mempersiapkan kondisi rumah untuk menyambut tamu ketika Riyadinan ( acara bersalam – salaman, saling mengunjungi setelah sholat ied). Hal yang memprihatinkan bila kondisi seperti itu masih terus dibudidayakan, hanya untuk 10 – 15 menit berjamaah di masjid saja sulit, sedangkan untuk membuat kue, membersihkan rumah, menyetrika baju, itu semua dipersiapkan berjam – jam bahkan semalaman. Adakah kebiasaan ini pernah dicontohkan pada Zaman Rosulullah? Nah marilah kita bangun paradigma mensyukuri nikmat di senja hari dengan baik dan benar sesuai tuntunan syariat agar sambutan kita pada Idul Fitri bernilai ibadah.

Hal yang menggembirakan ketika aku tidak bisa mendapat shof terdepan untuk sholat ied berjamaah, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat bersemangat untuk melaksanakan sholat ied dengan berjamaah. Namun yang harus digaris bawahi adalah ceremonial ketika usai sholat ied, berbaurnya jamaah di sepanjang jalan atau rumah – rumah untuk saling bersalam – salaman melebur dosa. Fenomena yang mungkin berdasar pada hadits yang sempat aku rekam dalam angan yang insya Allah berbunyi,” Tidaklah dua orang saling bertemu lalu keduanya berjabat tangan, melainkan akan diampunkan dosa keduanya sebelum mereka berpisah”. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah). Bila hari ini adalah hari dimana kita akan dibersihkan dari dosa, bukankah berjabat tangan selain muhrim adalah dosa? dan bagaimana kita akan bersih dari dosa jika sehari sudah sekitar satu desa orang yang bukan muhrim menggenggam tangan kita? Mulai dari balita, anak – anak, remaja, orang dewasa hingga kakek nenek saling bertemu dan bersalaman, dan tidak jarang ada yang membumbui pertemuan tersebut dengan cipika – cipiki baik sejenis atau dengan lawan jenis tanpa mengindahkan yang namanya hijab, seakan – akan hari ini Allah memberi dispensasi untuk hijab.

Di hari yang seharusnya Fitri tersebut, ternodai oleh tontonan amoral pasangan manusia yang sedang kasmaran. Dengan dalih ingin berkunjung kerumah sanak family, banyak para remaja yang berpasangan dan aku yakin belum resmi hijabnya bercengkrama ria memadati tempat – tempat tongkrongan, tempat wisata, sudut – sudut kota, dan daerah yang dianggap mereka romantis. Layaknya bumi sendiri mereka berbuat tanpa peduli sekelilingnya, dan parahnya lagi ternyata ada beberapa orang tua yang bangga jika mengetahui anaknya pada hari itu bepergian tidak lagi sendiri alias jomblo. Sungguh ironis umat Islam di negeriku.

Sebagai penutup cerita mudik, aku coba bermain keluar kota atau lain daerah dengan harapan agar menemukan peradaban yang bisa menjadi literature kisah hidup. Semuanya hampir sama bentuk acara dan kegiatannya, hanya mungkin sedikit perbedaan semisal waktu untuk beramah – tamah tidak langsung pada pagi hari setelah sholat ied, melainkan dilakukan malam hari setelah senja terbenam diufuk barat.


Suasana Idul FitriDemikian itu adalah fakta yang dapat terungkapkan dan aku yakin hal tersebut terjadi telah mengakar di masyarakat kita terutama pedesaan. Bagaimanakah seyogyanya orang – orang para golongan manusia yang telah diberi pemahaman lebih mengenai syariat untuk menyikapi kondisi seperti ini? Tanggungjawab telah didepan mata. Apakah berlebihan jika aku memandang ini sebagai pembodohan peradaban? Bagaimana tidak, iman yang terasah dan hati yang terbasuh dalam sebulan tidak berpengaruh pada sikap kita di hari Fitri. Menyedihkan lagi karena banyak mereka yang meninggal dalam kecelakaan ketika asyik dengan celebrate hari raya ini, sudah cukupkah bekal mudik mereka sebagai pengganti bekal di alam kubur?. Jadilah ini bahan renungan kita semua sehingga kita dapat mengambil jalur hidup yang benar sesuai tuntunan syariat. Semoga Allah mengampuni kelalaian kita dan meridhoi kita untuk ikut andil bagian dalam upaya mengembalikan kejayaan Islam. Amien (iqroZn)..