iqrozen.blogspot.com | “Talk less, do more” sepenggal slogan yang telah sering kita dengar, bahkan mungkin juga sering kita ikut mengkampanyekannya. Wajar karena slogan tersebut begitu sesuai untuk mewakilkan kegundahan kita atas kinerja pejabat negeri ini. Rakyat kecil setiap hari hanya disuguhi dialog-dialog semu para pemimpin yang tak berkesudahan. Janji-janji mereka lontarkan tatkala berkepentingan memburu dukungan, namun kemudian rakyat jelata seperti kita akan dicampakkan ketika mereka telah duduk di bangku pemerintahan. Alhasil, beberapa periode pemerintahan akhir-akhir ini tidak mampu memberikan reformasi konkrit pada kehidupan rakyat yang telah lama sengsara dan menderita.
Potret penderitaan rakyat yang nampak kasat mata diantaranya begitu banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, ditambah jumlah pengangguran yang terus meningkat seiring pendeportasian ribuan TKI oleh negara tetangga. Belum lagi maraknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah akibat infrastruktur pendidikan yang tidak memadai atau banyaknya pelajar putus sekolah karena biaya pendidikan yang “melangit”. Dan mewabahnya gerakan korupsi berjamaah yang dilakukan pejabat elit negara semakin men-justifikasi-kan negeri kita ini dalam keterpurukan berkelanjutan. Mana perubahan yang digembar-gemborkan pemimpin saat kampanye dulu? Apa hasil diskusi mereka selama ini yang telah banyak menghabiskan uang rakyat?
Benang merah yang mesti diperhatikan dari dilema bangsa ini adalah kegemaran pemimpin-pemimpin kita dalam berdebat atau beradu argument. Sidang dalam mengambil keputusan yang berlangsung berhari-hari menunjukkan forum telah dikuasai liberalisasi pendapat, sehingga keputusan yang diambil pun cenderung tanpa orientasi perbaikan. Misalnya, sidang paripurna pada 30 Maret 2012 yang lalu dengan salah satu agendanya membahas kenaikan harga BBM yang mana hasilnya belum mampu memberi keputusan yang pasti. Penundaan naiknya harga BBM merupakan wujud lemahnya konsistensi sistem pemerintahan dalam mengamankan APBN, itulah sebabnya meski harga BBM tidak jadi naik tapi rakyat tetap gelisah.
Potret penderitaan rakyat yang nampak kasat mata diantaranya begitu banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, ditambah jumlah pengangguran yang terus meningkat seiring pendeportasian ribuan TKI oleh negara tetangga. Belum lagi maraknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah akibat infrastruktur pendidikan yang tidak memadai atau banyaknya pelajar putus sekolah karena biaya pendidikan yang “melangit”. Dan mewabahnya gerakan korupsi berjamaah yang dilakukan pejabat elit negara semakin men-justifikasi-kan negeri kita ini dalam keterpurukan berkelanjutan. Mana perubahan yang digembar-gemborkan pemimpin saat kampanye dulu? Apa hasil diskusi mereka selama ini yang telah banyak menghabiskan uang rakyat?
Benang merah yang mesti diperhatikan dari dilema bangsa ini adalah kegemaran pemimpin-pemimpin kita dalam berdebat atau beradu argument. Sidang dalam mengambil keputusan yang berlangsung berhari-hari menunjukkan forum telah dikuasai liberalisasi pendapat, sehingga keputusan yang diambil pun cenderung tanpa orientasi perbaikan. Misalnya, sidang paripurna pada 30 Maret 2012 yang lalu dengan salah satu agendanya membahas kenaikan harga BBM yang mana hasilnya belum mampu memberi keputusan yang pasti. Penundaan naiknya harga BBM merupakan wujud lemahnya konsistensi sistem pemerintahan dalam mengamankan APBN, itulah sebabnya meski harga BBM tidak jadi naik tapi rakyat tetap gelisah.
Perdebatan panjang tanpa hasil juga dapat kita simak dari perjalanan proses peradilan kasus Bank Century yang sampai kini belum menemukan titik terangnya, proses peradilan TIPIKOR dengan tersangka M. Nazarudin cs yang belum mampu mem-vonis satupun terdakwa, pembahasan RUU berkepanjangan tanpa ketetapan akhir, dan kasus terhangat ketika sidak Wamenkumham (Denny Indrayana) pada 2 Maret 2012 ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru yang ternyata dianggap berlebihan oleh banyak pihak meski telah berhasil menemukan barang bukti adanya peredaran narkoba di Lapas tersebut.
Bukankah hal yang lucu jika gerakan pemberantasan narkoba masih ada yang tidak mendukungnya, apalagi mereka adalah orang-orang penting di pemerintahan kita. Seharusnya dukungan moral dan material diberikan pada aktivis anti narkoba, sebaliknya hukuman keras (tidak sekedar tamparan) patut diberikan bagi mereka pelindung atau penjaja narkoba. Karena dari sisi HAM para penjaja narkoba telah merebut hak generasi untuk merasakan indahnya beriman. Di negara lain oknum yang terkait narkoba di hukum mati, mengapa di negeri kita ragu dalam memvonis seperti itu?
Budaya perdebatan sesama pemegang kekuasaan semestinya dihindari karena menghambat proses pembangunan bangsa ini. Terlebih lagi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim sudah semestinya menjauhi perdebatan. Karena perdebatan tidak akan menyelesaikan masalah rakyat dan hanya mendatangkan kemurkaan Allah. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al Qur’an yang berbunyi : "Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para Malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan yang Maha keras siksa-Nya" (QS. Ar-Ra’du : 13).
Dr. Abdul ‘Azim Ibrahim Al-Math’an di dalam bukunya “Sepuluh Wasiat Hasan Al-Bana” menyatakan makna perdebatan yang berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Jidal dari kata dasar Al-Jadal yang artinya saling berdialog dengan cara bersitegang dan tidak ada yang mengalah. Makna yang sinergis dengan apa yang dilakukan wakil-wakil rakyat di negara kita sehingga amanah rakyat yang diembannya terabaikan. Politik saling menjatuhkan kawan maupun lawan menjadi pekerjaan utama politikus negeri ini ketika ada kesempatan meraih kursi kekuasaan. Lagi-lagi rakyat dikorbankan karena harus hidup dikepung bencana dan musibah, sementara solusi pemerintah terhenti ditataran pro dan kontra penguasa.
Perdebatan memiliki andil besar dalam menyesatkan seseorang, kaum Munafik akan melakukan kebohongan besar demi mengungguli logika kebenaran sehingga seakan-akan pendapat mereka paling benar. Hal ini tercermin dari beberapa kelompok penguasa pemerintahan kita yang begitu manis bersilat kata demi mendoktrin rakyat untuk menerima program-program kapitalis dengan slogan kerakyatan. Bahayanya, kelompok ini telah membentuk jaringan-jaringan liberal yang masuk ke lembaga pendidikan sehingga meracuni pola pikir generasi bangsa ini. Lihatlah sekian banyak pemuda yang hidupnya tidak jelas karena kesesatan yang telah ditancapkan dalam mainstream bawah sadar mereka.
Kebangkitan bangsa Indonesia terasa semakin berat seiring bercokolnya kubu-kubu penguasa yang berseteru dalam menentukan kebijakan. Tidak terbayangkan kota metropolitan sekelas Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan, hingga detik ini masih dihantui banjir dan kekumuhan tata kota. Bagaimana kita berbicara pembangunan nasional jika pusat pemerintahan sebagai barometer perekonomian masih menimbun orang-orang jalanan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemanakah pejabat negara yang kesehariannya hidup bertetangga dengan mereka? Jawabannya singkat dan jelas bahwa pejabat sedang berdebat.
Mengambil sejarah debat bizanthiyum yang memberikan pelajaran nyata akibat buruk dan amat sedikitnya manfaat dari sebuah perdebatan. Orang bizanti adalah bangsa yang pertama melakukan debat dikalangan Bani Israel, dimana kalangan ini menyebarkan penyakit-penyakit sosial masyarakat sebagai dampak dari perdebatan itu. Kaum bizanti sengaja dilahirkan untuk terjun di masyarakat dan mengajak rakyat berdebat setiap saat. Harapannya, perdebatan rakyat ini dapat memalingkan mereka dari substansi permasalahan sehingga menjauhkannya dari solusi Illahiyah.
Allah telah berfirman, yang artinya : Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik Tuhan-Tuhan Kami atau Dia (Isa)?" mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (QS. Az-Zukhruf : 58)
Sistem demokrasi yang dianut bangsa Indonesia sesungguhnya menjebak pejabat-pejabat pemerintah dalam situasi perdebatan. Situasi perdebatan ini senantiasa diciptakan agar problematika rakyat menjadi bias yang pada akhirnya tidak tertangani. Perhatikan perdebatan panjang strategi koalisi di kabinet untuk memilih menteri, perdebatan sistem pemilu, perdebatan perundang-undangan, serta banyak lagi perdebatan tanpa hasil nyata yang mampu menyelesaikan problematika negeri ini. Jadi, kapan rakyat akan diurus?
Tentu kita semua tahu bahwa hukum di negeri ini hanya “tajam” untuk masyarakat bawah, sebuah konsekuensi dari sistem peradilan yang menerapkan “jual beli” keputusan. Artinya, hanya konglomerat yang mampu membeli pengacara handal dalam ber-argument sehingga sebesar apapun pelanggarannya, mereka akan bebas dari jeratan hukum. Proses dialog panjang mampu mengantarkan seorang tersangka terbebas dari segala tuduhan, dan inilah yang kita rasakan di Lembaga Peradilan Bangsa Indonesia saat ini.
Tabiat sebagian besar pejabat kita baik itu di legislatif maupun eksekutif menunjukkan karakter sebagai pendebat ulung yang senantiasa memaksakan argumentnya. Ironisnya, pejabat-pejabat itu banyak yang beragama Islam. Semestinya mereka menjadi tauladan dalam memimpin rakyat terutama dalam hal pengambilan kebijakan. Tentu dengan berpegang pada Allah dan Rosul-Nya maka dijamin seorang pemimpin akan mampu mengayomi rakyat yang mengikutinya, sehingga bangsa terbebas dari praktek-praktek kekhufuran yang mendatangkan azab Allah.
Dan Allah telah memberikan petunjuk bagi para pemimpin dalam berdiplomasi sehingga mendatangkan rahmat-Nya. Petunjuk ini tertuang di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat : 125 yang artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sudah saatnya rakyat mendapat perhatian lebih terutama dibidang kesejahteraan sebagaimana janji yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945. Koordinasi yang terbebas dari konspirasi politik melambangkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menuju kejayaan bangsa. Demikianlah pengharapan kita bersama yang sangat mungkin terwujudkan bila menengok berlimpahnya SDA dan keragaman SDM yang telah dianugerahkan Allah kepada Negara Republik Indonesia. “Merdeka, Allahu Akbar”.
* Pengurus Pusat Syabab Hidayatullah dan Peneliti Inisiasi Hidayatullah