GEBYAR KUPATAN

iqrozen.blogspot.com | Kupatan bisa jadi adalah modifikasi Wali Songo agar umat Islam menjalankan sunnah puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu bagaimanakah aktualisasi kupatan saat ini? Adakah para pegiat dakwah peduli dengan kondisi ini?

Idul Fitri di Jawa Timur identik dengan ketupat, makanan berupa nasi yang dikemas dengan janur kuning menjadi menu spesial di beberapa tempat pada saat hari raya Idul Fitri. Bahkan daerah–daerah tertentu menjadikan hari kedelapan pada bulan Syawal sebagai hari perayaan ketupat, dimana pada hari tersebut kita dapat makan menu ketupat dengan gratis yang mudah ditemukan disetiap rumah warga. Baik kaya ataupun miskin sudah tradisi harus menyediakan ketupat pada hari itu.

Salah satunya seperti yang terjadi di daerah Durenan kabupaten Trenggalek – Jawa Timur. Kabupaten di bagian selatan propinsi Jawa Timur ini adalah salah satu kabupaten yang masih menjunjung tinggi kebudayaan nenek moyang. Salah satu kebudayaan yang mungkin tidak asing di telinga kita ialah KUPATAN.

Oleh warga Durenan, hari raya KUPATAN diadakan pada tanggal 8 Syawal yakni hari kedelapan di awal bulan Syawal skaligus hari dimana orang–orang yang melaksanakan puasa Syawal telah genap berpuasa selama enam hari.

”Setahu saya ini hari rayanya orang–orang yang melakasanakan puasa Syawal,” ujar Aris salah seorang warga asli Durenan.

”Namun ada yang mengatakan jika hari raya ini berawal dari kebiasaan warga yang mengunjungi sesepuh adat pada hari kedelapan bulan Syawal dan oleh para sesepuh mereka semua yang berkunjung akan disuguhi ketupat dengan sayur lodeh (sayur nangka bersantan),”iImbuh pemuda yang juga masih tercatat aktif sebagai mahasiswa AKPER PEMKAB Trenggalek.

Tentu sebuah hal positif bila kebudayaan ini dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai wisata religi. Namun yang harus kita garisbawahi adalah hal–hal mudharat yang akan merusak citra Idul Fitri itu sendiri.


Suasana Jalan saat Gebyar KupatanCoba bayangkan jika pada hari itu masyarakat berbondong – bondong datang ke Durenan, sebuah kecamatan kecil di kabupaten Trenggalek yang berada di jalur lintas propinsi. Macet, sudah barang tentu karena yang hadir ribuan masyarakat yang tidak hanya warga sekitar, tapi juga ditambah para pengguna jalan yang mungkin akan mudik.

Mereka yang terjebak dalam kemacetan bisa jadi akan lupa pada Allah dan pasti sulit untuk melaksanakan ibadah semisal sholat, keadaan ini berlangsung seharian mulai dari pagi hingga petang hari. Rumah–rumah non stop sibuk melayani tamu hingga adzan dhuhur ataupun ashar lupa dikumandangkan.

Apakah hanya karena sesuap ketupat hal ini terjadi?

Ikhtilad sudah pasti, banyak mereka yang berpasangan entah resmi atau belum ikut berjubel dijalanan. Bisa dibilang ini moment yang tepat untuk ngedate berjamaah dan bila lapar tinggal masuk satu rumah sudah dijamin akan dapat makan gratis.

Di beberapa sudut tempat menggelar konser musik menghibur pengguna jalan. Terlihat mereka yang masih remaja begitu khusuk beromantis ria dengan pasangan yang dibawanya, dan banyak pengendara yang tidak mengindahkan aturan lalu lintas yang harus melengkapi perlengkapan dalam berkendaraan.

Aparat keamanan yang diterjunkan untuk membantu kelancaran lalu lintas tak dapat berbuat banyak saat di depan mereka melintas para pangendara tanpa helm, berboncengan lebih dari dua orang, gerombolan pengendara yang memotong jalur. Sungguh kasian, mudah-mudahan saja para aparat masih punya kemauan menjalankan sholat.

Pemborosan, tidak dipungkiri lagi biaya besar telah dikucurkan dalam menyiapkan menu ketupat untuk menyambut para tamu yang belum tentu dikenali dan diketahui maksud kedatangannya. Tidakkah sia – sia jika kita memberi makan orang yang sudah kenyang? karena bisa saja mereka yang datang sudah melakukan hal yang sama di rumah – rumah sebelumnya yaitu telah menyantap menu ketupat juga.

Inilah kebudayaan yang semestinya diatur dengan syariat jika mengatasnamakan Islam, agar makna KUPATAN itu bisa disinergiskan dengan moment perayaan hari raya Idul Fitri. Darimana dan bagaimanapun asal – usul suatu kebudayaan akan bernilai normatif, indah dan mulia jika mampu mengindahkan syariat sebagaimana zaman Rosulullah SAW. Sekarang ini andil peran serta para ulama atau sesepuh sangat diperlukan untuk memberi klarifikasi makna dan tujuan KUPATAN yang sesuai dengan syariat, jangan sampai KUPATAN dipengaruhi kebudayaan Hedonis yang berupaya menggusur jati diri umat Islam. Marilah bersama– sama kita membangun kembali peradaban mulia ala nabi Muhammad SAW. Semoga Allah memudahkannya. Amien.(Zen)