Solusi Konkrit Untuk Pendidikan

IQROZEN Proses pembelajaran seharusnya tidak memisahkan unsur-unsur duniawi dari hakikat penciptaannya. Kebesaran Allah Swt sebagai Sang Pencipta, seyogyanya menjadi bagian dari setiap pembahasan materi kita dalam teaching and learning process. Mendidik bukan sekedar mentransformasikan ilmu pengetahuan, namun juga wahana pembinaan peserta didik secara utuh, sehingga mampu mengantarkan mereka ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani.
Baca permasalahan yang ada di pendidikan Indonesia pada postingan Dialektika Sistem Pendidikan Nasional.
Fenomena masyarakat Indonesia yang semakin akrab bersua dengan sekulerisme merupakan bukti out-put pendidikan negeri kita yang telah menyimpang dari fungsi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Lahirnya generasi koruptor, mafia hukum, pemuda hedon, pelajar brutal, dan masih banyak profesi-profesi gelap lainnya yang melambangkan krisisnya nilai-nilai tauhid dalam diri generasi hasil dari sistem pendidikan nasional. Ditambah lagi, kurikulum pendidikan yang tidak relevan dan tidak memiliki standarisasi yang jelas menjadikan kita sebagai warga pendidikan nasional senantiasa terjebak dalam kebingungan.

Sudah saatnya inovasi untuk pendidikan nasional digalang dan terkonsep matang, sehingga arah pendidikan nasional kita semakin jelas dan mampu menjamin kaderisasi anak bangsa yang dapat dibanggakan. Pembaharuan di setiap perangkat pendidikan menjadi hal utama yang harus diselesaikan demi mewujudkan “pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa”. Dan salah satu inovasi pendidikan yang urgent diterapkan dewasa ini adalah inovasi dalam kegiatan belajar-mengajar.

Sardiman (2008:2) berpendapat bahwa interaksi belajar-mengajar adalah kegiatan interaksi dari tenaga pengajar dengan warga belajar (peserta didik) dalam proses pendidikan. Interaksi di bidang pendidikan inilah yang sangat mempengaruhi perkembangan murid sebagai peserta didik sekaligus real product dari sistem pendidikan nasional. Inovasi dalam interaksi belajar-mengajar dapat melalui:

A.Konstruktivisme
Secara bahasa, konstruktivisme berasal dari kata konstruksi yang artinya membangun. Von Glasersfeld mengungkapkan bahwa pengetahuan bukanlah tiruan dari kenyataan, tetapi pengetahuan merupakan akibat dari konstruktif kognitif melalui kegiatan nyata (lihat Sardiman, 2008:37). Uraian tersebut menunjukkan bahwa membangun interaksi belajar-mengajar sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan peserta didik. Dengan merekonstruksi kegiatan belajar-mengajar dalam nuansa tauhid, keyakinan peserta didik akan campur tangan Allah pada ilmu pengetahuan semakin kuat.

Dalam Al Quran surat An-Nisaa:166, Allah telah berfirman yang artinya, ”tetapi Allah mengakui Al Qur'an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi. Cukuplah Allah yang mengakuinya.”. Sebuah emphasis bagi element pendidikan untuk tidak meninggalkan nilai-nilai tauhid dalam membangun pendidikan ini.

Interaksi belajar-mengajar yang menumbuhkan semangat para peserta didik, salah satunya dengan bercerita tentang pengalaman seseorang atau sejarah orang-orang terdahulu. Metode ini juga sejalan dengan Al Quran yang kita ketahui banyak berisi kisah-kisah perjalanan hidup manusia.

Dengan demikian, faham konstruktivisme diharapkan mampu membangun motivasi diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, tanpa menafikan kebesaran Allah meskipun hanya untuk sesaat. Membangun interaksi belajar-mengajar yang berlandaskan tauhid dapat diimplementasikan dalam kelompok diskusi di kelas, regu-regu bimbingan belajar, serta taman pendidikan lainnya.

B. Lingkar Ilmu / Halaqoh

Rasulullah Saw ketika berdialog dengan Jibril dalam membahas Iman, Islam dan Ihsan merupakan contoh suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Sahabat nabi, Umar ra berkata: Pada suatu ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki (malaikat Jibril) yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lutut Rasulullah Saw. (HR. Muslim).

Pendekatan humanisme akan mengantarkan warga belajar untuk dapat saling mengenal dan memahami karakter dari masing-masing individu (Sebagaimana dekatnya Rasulullah dengan malaikat Jibril). Selain itu, klasifikasi kemampuan peserta didik sangat penting dalam pemetaan materi sebelum diajarkan.

Hadist tersebut menggambarkan betapa dekatnya seorang pembawa risalah ketika akan menyampaikan kebenaran yang telah dipahaminya. Dengan membentuk ta’lim/lingkar ilmu akan mendekatkan diri pengajar dengan peserta didiknya, hal yang menguntungkan baik bagi guru sebagai pengajar maupun murid karena dapat mengontrol lebih spesifik sejauh mana perkembangan interaksi belajar-mengajar yang telah mereka lakukan. Selain itu, setiap peserta didik dari masing-masing kelompok/lingkar ilmu dapat saling bekerjasama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara merata.

Dalam lingkar ilmu, peserta didik dikelompokkan menjadi beberapa regu belajar dengan klasifikasi yang berbeda. Misalnya, kelompok belajar dengan kemampuan pandai, menengah dan rendah. Hal ini dimaksudkan agar perhatian guru dapat terpetakan pada masing-masing regu sesuai kemampuan dari peserta didik sebagai anggota regu/kelompok belajar. Dan guru akan memprioritaskan perhatian pada regu dengan peserta didik berkemampuan rendah terkait upaya membangun dan membimbing mereka untuk mengembangkan potensi dirinya, tanpa mengacuhkan perkembangan kemampuan anggota regu belajar lainnya.

C. Pendidikan Bersifat Integral

Pendidikan secara komprehensif diartikan sebagai usaha membina diri peserta didik secara utuh, baik matra kognitif, psikomotorik, maupun afektif sehingga mereka akan tumbuh sebagai manusia-manusia yang berkarakter luhur dan seimbang (Sardiman, 2008:54). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan integral adalah pendidikan secara komprehensif yang melibatkan jasad/pancaindra, ruh dan wahyu dalam setiap interaksi belajar-mengajar.

Peranan media dalam interaksi belajar-mengajar:
1. Memperjelas penyajian materi verbal
2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera dari peserta didik
3. Memacu peserta didik untuk lebih kreatif,  aktif, dan inovatif
4. Membongkar perbedaan latar belakang guru ataupun  siswa
(Poedjiastoeti, 1999:4)      

Jasad sebagai basecamp dari panca indera merupakan bagian nyata yang bergesekan langsung dengan alam semesta. Ini menunjukkan bahwa semestinya kegiatan belajar-mengajar bersinggungan langsung dengan lingkungan alam sekitar kita. Contohnya pada pelajaran matematika, dalam mengajarkan luas bangun ruang misalnya menghitung luas bola. Real object yang dapat kita gunakan adalah buah jeruk. Sebelum membahas materi, hal pokok yang kita sampaikan adalah kekuasaan Allah sebagai pencipta yang telah menciptakan buah-buahan yang beraneka ragam di dunia ini.

Ruh sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia, telah memiliki kemampuan untuk berpikir (intelektual), memiliki pengatur jasmani (jiwa), serta memiliki cahaya pencerahan (hati). Suatu sistem pembangun kehidupan yang luar biasa, semestinya dijaga untuk stay on the trip agar tidak menyimpang dari hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dalam interaksi belajar-mengajar, pemahaman ruh/spiritual dapat diaplikasikan dengan menjelaskan bukti-bukti keberadaan Allah melalui penciptaan buah jeruk dan lain sebagainya.

Manusia adalah makhluk lemah yang penuh keterbatasan, begitupun kemampuan kita dalam menerima informasi/pengetahuan. Wahyu sebagai tuntunan dari Allah merupakan pelengkap keterbatasan itu. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nisaa ayat 105, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang, karena  orang-orang yang khianat.”

Kesimpulan
Benang merah yang dapat kita ambil dari ringkasan materi ini adalah betapa pentingnya sebuah kondisi pembelajaran yang membawa kita pada keadaan lingkungan yang sesungguhnya. Keadaan yang memudahkan anak didik dalam menerima ilmu pengetahuan sekaligus mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata (minimal dalam simulasi). Dan pendidikan integral sebagai faham yang menggabungkan aspek kehidupan baik jasmani maupun rohani dalam kegiatan belajar-mengajar, akan mampu mengantarkan peserta didik dalam mencapai tujuan penciptaan kehidupan ini.

Dan kita sebagai guru, harus meneruskan perjuangan para Rasul Allah dalam menyampaikan kebenaran dan memberi perubahan pada lingkungan  sekitar menuju kondisi kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Mewujudkan pendidikan yang melahirkan manusia berilmu dan beradab, demi kemaslahatan makhluk hidup di dunia fana ini. Guru yang memiliki pedoman tauhid yang kuat dan mempunyai kecerdasan Qur’ani sebagai rujukan dalam menghadapi kehidupan panjang di akhirat kelak.

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan  mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum  itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS : Ali imran : 164).
Inilah Solusi Pendidikan Indonesia
Dok. Pribadi
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, CV. Darus Sunnah, Jakarta: 2002
Pedoman Pelaksana Pendidikan Berbasis Tauhid Pesantren Hidayatullah
Poedjiastoeti, Sri. 1999. Media Pembelajaran. Surabaya: Unipress
Sardiman AM., "Interaksi dan Motivasi Belajar Menagajar", PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2